Sebetulnya masih sekitar dua
minggu lagi menuju ulang tahun saya yang ke sekian. Tapi rasanya ingin nulis
sekarang, mungkin karena momentumnya tepat. Ah saya ini tipikal orang Indonesia
yang hobi sekali meng-abuse kata “momentum”. Perhatikan coba, setiap ada
peristiwa pasti dikaitkan dengan kata “momentum” entah selanjutnya mau digabung
dengan “kebangkitan”, “kesadaran”, terserah. Itu tergantung selera. Kasihan si
“Momentum” dipakai terus, tapi tidak pernah diwujudkan. Ciyan!
Balik lagi ke umur saya yang hampir
seperempat abad ini. Kalau dibilang menyesal sih tidak. Saya masih bisa
berterima kasih kepada Tuhan karena diberikan banyak anugerah yang tidak
ternilai. Tapi kalau sedih, iya. Orang-orang seumuran saya biasanya sudah punya
pencapaian yang sekian jauh. Misalnya, kakak mantan saya yang terakhir, beliau
kerja di satu-satunya ibu Bank di Indonesia. Dengan penghasilan sekian juta bla
bla bla, et cetera et cetera. Saya terkagum-kagum mendengarnya. Sementara saya
masih begini-gini melulu.
Tapi bukan di situ. Masih
mending, beliau memang pintar, sholeh, serta punya kultur pintar juga di
keluarganya. Lagipun dia berasal dari salah satu Universitas Swasta terkemuka
di Bandung. Jadi memang pantas mendapatkan posisi yang bagus.
Ada hal yang jauh lebih parah dalam
hidup saya, sebetulnya. Alkisah, suatu pagi partner in crime semasa kuliah saya
tiba-tiba mengirim pesan. Kurang lebih bunyinya begini “Heran, kenapa
orang-orang yang dulu kuliah modal tampang doang eh sekarang malah hidupnya
sudah enak, ada yang kerja di Bank dan sudah posisi bagus, ada yang S2. Heran”
pagi-pagi menerima pesan yang isinya meneguhkan apa yang selama ini jadi salah
satu misteri terbesar di dunia setelah kedangan Alien. Ini kenyataan pahit yang
harus saya telan. Sebagai ilustrasi, kalau orang-orang yang sukses itu pernah presentasi
di depan saya, pasti sudah saya bantai. Dan pasti saya menang, bukan karena
saya pintar tapi karena mereka.. errr… katakanlah tidak memiliki kapasitas
yang.. ah sudahlah.. pasti sudah dapat gambarannya kan? Begitu!
Terakhir, proses pencarian kerja
saya berakhir di tahap 4 entah 5 seleksi di sebuah perusahaan rokok terbesar di
Indonesia. Sedih? Banget! Nyesek? Pisan! Bagian yang paling menyedihkan dari
seluruh kisah pencarian kerja ini bukan karena saya tidak diterima. Bukan di
situ. Kalau saya belum bekerja, tapi kondisi keuangan di rumah baik-baik saja,
mungkin saya hanya akan bersedih gara-gara satu hal: belum punya kerja. Tapi
saat ini kondisi keuangan di rumah sedang tidak bagus. Setiap hari saya harus
mendengar Ibu saya mengeluh soal tidak punya uang. Persoalannya bukan karena
Ayah saya tidak memiliki penghasilan. Usaha beliau masih berjalan seperti
biasa. Namun hutang ke bank yang begitu besar karena merenovasi rumah yang jadi
masalah. Terus kalo tidak punya uang kenapa merenovasi rumah? kalau rumah ini
tidak direnovasi, nanti tidak cukup menampung keluarga ini yang seabrek-abrek.
Barangkali, dua atau tiga tahun ke depan keadaan akan berubah ketika hutang ke
bank tersebut sudah lunas. Persoalannya tidak berhenti di ibu saya yang sering
bercerita masalah ekonomi. Saya pun harus menyaksikan dua adik saya terkena
dampak krisis ekonomi di rumah ini. Mereka masih kecil, sedih rasanya kalau
mereka harus turut terkena imbas dari “perang” ini. Dalam posisi seperti ini,
saya sebagai anak pria paling besar, jadi tempat semua orang bercerita.
Bagaimana ibu saya bercerita masalah dapur, bagaimana ayah saya bercerita
masalah mengelola pekerjaan, dan bagaimana adik saya bercerita tentang butuh
uang untuk keperluan sekolah. Sedih rasanya, saya tidak bisa melakukan apa-apa,
saya hanya bisa memberikan semangat kepada mereka. Mengingatkan mereka semua
untuk selalu optimis dalam menghadapi semuanya. Padahal, sayapun tidak sanggup
sebetulnya menghadapi semua ini. Tapi, kalau saya terlihat lemah dan pesimis,
lalu siapa yang akan menyemangati mereka? Jadilah saya orang yang pura-pura
tegar.
Itulah, kenapa rasanya tulian ini
paling enak dibuat sekarang. Karena ini merupakan titik terendah dalam hidup
saya. Ada banyak ketakutan yang harus saya hadapi, sendirian. Barangkali itulah
kenapa saya menuliskan semuanya di sini. Saya butuh perasaan bahwa ada
seseorang yang bersedia mendengar semua keluh kesah saya. Terima kasih untuk
orang-orang yang selalu ada di dekat saya.
Jadi, mungkin ini adalah ulang
tahun paling menyedihkan selama 8 tahun terakhir. 8 tahun terakhir saya punya
pacar, sekarang ah saya sendiri.
Selamat ulang tahun buat saya!
Nggak minta banyak dan
macem-macem. Cukup minta diberi pekerjaan, supaya bisa bantu Ibu.
Karena, Tuhan. Aku hanyalah orang
yang tidak pernah bosan meminta, dan engkau tidak pernah bosan memberi. Engkau
pasti punya yang terbaik, maka berikanlah…
Mungkin nanti, ketika saya
berhasil melewati semuanya. Saya hanya akan tertawa membaca posting ini.
Seperti halnya saya selalu tertawa ketika membaca posting lama saya. He he.
Bandung yang malam, 20 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar