Senin, 15 Juli 2013

Tentang Cinta.


Ibu saya pernah berpesan untuk mencari pacar yang sederajat dengan saya. Sederajat, bukan harus dari kalangan bangsawan atau mereka yang kaya raya. Tapi sebaliknya, mereka yang berasal dari keluarga sederhana, seperti saya ini. Saya paham betul, ibu saya takut anaknya dipandang sebelah mata oleh mereka, orang-orang yang berada.

Sebagai seorang pria muda yang lugu dan polos (polos dalam pemikiran, bukan dalam berpakaian) saya merasa nasihat ibu itu salah. Saya percaya bahwa kekuatan cinta diatas segalanya (tsaaah). Saya adalah orang yang lebih memilih memiliki berlian palsu tapi cinta asli daripada sebaliknya, berlian asli tapi cinta palsu. Tentu, saya yang masih muda belia merasa bahwa saya gagah memiliki keyakinan seperti ini.
Betul, saya selalu mengatakan bahwa cinta lebih penting daripada uang. Meskipun, rumah, mobil, biaya pendidikan, semuanya memerlukan uang. Tapi saya bersikeras, cinta di atas segalanya. Dari mana datangnya pemikiran tersebut? Bukan datang begitu saja. Bukan pula karena saya terlalu banyak menonton FTV atau mendengarkan dongeng. Mungkin sih bagian terlalu banyak mendengarkan dongeng memberikan sedikit pengaruh terhadap apa yang disebut cinta sejati. Ciee…

Begini, saya tidak berasal dari keluarga berada. Malah, saya berasal dari keluarga yang secara materi sangat pas-pasan menuju kekurangan. Ayah saya hanya pekerja biasa yang harus menghidupi satu orang istri dan enam orang anaknya. Tentu, kami megap-megap untuk bisa bertahan hidup. Telat membayar spp, dan hal-hal seperti itu sudah biasa saya alami. Seperti yang saya bilang, kami hidup pas-pasan menuju kekurangan.
Saat cerita ini ditulis, ayah dan ibu sudah menikah lebih dari 30 tahun. Bukan tanpa masalah memang, tapi di atas cinta yang kuat mereka bisa mengalahkan semua cobaan yang menghantam. Suatu kali, pernah kami makan satu piring berenam atau berdelapan. Ini serius, kami pernah mengalami masa-masa seperti itu. Tanpa uang pun, kami bertahan.  Cinta 1, uang 0.

Orang boleh berkata, zaman sudah berubah. Sekarang, uang adalah segalanya. Lagipula, cewek mana yang ingin diajak hidup susah. Betul saya setuju itu, cewek mana yang mau diajak hidup susah? Pun, lelaki mana yang berniat mengajak istri atau anaknya hidup susah?

Tapi memang pemikiran saya terlalu utopis. Saya mungkin memiliki keyakinan seperti itu, uang bukan segalanya. Di lain pihak, orang lain belum tentu berpikiran seperti itu, termasuk pasangan hidup itu sendiri. Mungkin saja dia berpikiran sebaliknya, entahlah. Maka, saya mulai menyadari apa maksud dari perkataan ibu. Bahwa semuanya bukan hanya soal uang atau kedudukan. Tapi soal cara memandang dua hal tersebut. Sebetulnya bukan itu saja, hal lain pun bisa saja menjadi masalah. Latar belakang pendidikan yang berbeda, misalnya.  Penting atau tidak penting, semuanya relatif, semuanya bisa diperdebatkan.

Saya, bukannya tidak mau kaya raya. Setiap orang pasti mau, setiap orang harus mau. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, menjadi kaya merupakan salah satu jalan ke sana. Hanya saja, menjadi kaya bukan tujuan. Dalam sekejap mata, nasib bisa berganti dari sangat kaya menjadi sangat miskin atau sebaliknya. Banyak contoh yang menunjukkan hal tersebut, termasuk beberapa hal yang pernah alami. Kalau cinta menitikberatkan pada hal yang cepat berubah seperti itu, saya khawatir tidak akan bertahan lama. Sebut saya gila,  tapi saya masih percaya bahwa kedudukan cinta jauh melampaui harta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar