Ibu saya pernah berpesan untuk
mencari pacar yang sederajat dengan saya. Sederajat, bukan harus dari kalangan
bangsawan atau mereka yang kaya raya. Tapi sebaliknya, mereka yang berasal dari
keluarga sederhana, seperti saya ini. Saya paham betul, ibu saya takut anaknya
dipandang sebelah mata oleh mereka, orang-orang yang berada.
Sebagai seorang pria muda yang
lugu dan polos (polos dalam pemikiran, bukan dalam berpakaian) saya merasa
nasihat ibu itu salah. Saya percaya bahwa kekuatan cinta diatas segalanya (tsaaah).
Saya adalah orang yang lebih memilih memiliki berlian palsu tapi cinta asli
daripada sebaliknya, berlian asli tapi cinta palsu. Tentu, saya yang masih muda
belia merasa bahwa saya gagah memiliki keyakinan seperti ini.
Betul, saya selalu mengatakan
bahwa cinta lebih penting daripada uang. Meskipun, rumah, mobil, biaya
pendidikan, semuanya memerlukan uang. Tapi saya bersikeras, cinta di atas
segalanya. Dari mana datangnya pemikiran tersebut? Bukan datang begitu saja.
Bukan pula karena saya terlalu banyak menonton FTV atau mendengarkan dongeng.
Mungkin sih bagian terlalu banyak mendengarkan dongeng memberikan sedikit
pengaruh terhadap apa yang disebut cinta sejati. Ciee…
Begini, saya tidak berasal dari
keluarga berada. Malah, saya berasal dari keluarga yang secara materi sangat
pas-pasan menuju kekurangan. Ayah saya hanya pekerja biasa yang harus
menghidupi satu orang istri dan enam orang anaknya. Tentu, kami megap-megap
untuk bisa bertahan hidup. Telat membayar spp, dan hal-hal seperti itu sudah
biasa saya alami. Seperti yang saya bilang, kami hidup pas-pasan menuju
kekurangan.
Saat cerita ini ditulis, ayah dan
ibu sudah menikah lebih dari 30 tahun. Bukan tanpa masalah memang, tapi di atas
cinta yang kuat mereka bisa mengalahkan semua cobaan yang menghantam. Suatu
kali, pernah kami makan satu piring berenam atau berdelapan. Ini serius, kami
pernah mengalami masa-masa seperti itu. Tanpa uang pun, kami bertahan. Cinta 1, uang 0.
Orang boleh berkata, zaman sudah
berubah. Sekarang, uang adalah segalanya. Lagipula, cewek mana yang ingin
diajak hidup susah. Betul saya setuju itu, cewek mana yang mau diajak hidup
susah? Pun, lelaki mana yang berniat mengajak istri atau anaknya hidup susah?
Tapi memang pemikiran saya
terlalu utopis. Saya mungkin memiliki keyakinan seperti itu, uang bukan
segalanya. Di lain pihak, orang lain belum tentu berpikiran seperti itu,
termasuk pasangan hidup itu sendiri. Mungkin saja dia berpikiran sebaliknya,
entahlah. Maka, saya mulai menyadari apa maksud dari perkataan ibu. Bahwa semuanya
bukan hanya soal uang atau kedudukan. Tapi soal cara memandang dua hal
tersebut. Sebetulnya bukan itu saja, hal lain pun bisa saja menjadi masalah.
Latar belakang pendidikan yang berbeda, misalnya. Penting atau tidak penting, semuanya relatif,
semuanya bisa diperdebatkan.
Saya, bukannya tidak mau kaya
raya. Setiap orang pasti mau, setiap orang harus mau. Karena sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, menjadi kaya merupakan salah
satu jalan ke sana. Hanya saja, menjadi kaya bukan tujuan. Dalam sekejap mata,
nasib bisa berganti dari sangat kaya menjadi sangat miskin atau sebaliknya.
Banyak contoh yang menunjukkan hal tersebut, termasuk beberapa hal yang pernah
alami. Kalau cinta menitikberatkan pada hal yang cepat berubah seperti itu,
saya khawatir tidak akan bertahan lama. Sebut saya gila, tapi saya masih percaya bahwa kedudukan cinta
jauh melampaui harta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar