Dulu, waktu saya masih
muda dan lugu, saya mengira bahwa menulis itu mudah. Tinggal menulis
saja, anak SD juga bisa. Di mana letak susahnya, coba? Memang betul,
draft pertama novel saya selesai dalam satu bulan. Meskipun kemudian
novel itu tidak terbit-terbit, yang penting selesai. Saya menulis
draft pertama hanya bermodal ingatan, jalan cerita, karakter, dll
semuanya tergantung kepada mood saya waktu menulisnya. Kalo lagi
bagus, mungkin karakternya jadi baik, tapi kalo mood sedang rusak,
cerita dibuat sekejam mungkin.
Hasilnya? Tanpa outline,
novel saya “Sedikit berantakan”, kadang saya lupa yang mana
menjadi dialog khas satu tokoh dan yang mana yang bukan. Meskipun
jalan cerita tidak melebar, tapi ada beberapa cerita yang kurang
digali secara mendalam. Tapi yang lalu biarlah berlalu, saya malas
buat melakukan revisi. Kecuali ada penerbit yang sudi menerbitkan
naskah yang saya beri judul “Perjalanan” itu. Baru revisi.
Sekarang saya sedang
menulis naskah kedua. Menulis adalah hobi, bagi saya menulis adalah
membahagiakan diri sendiri. Mau terbit atau tidak itu masalah kedua.
Masalah pertama adalah ada orang yang bersedia untuk membaca, itu
sudah anugerah. Anywey, saya menulis naskah kedua. Sekarang saya
mencoba memakai outline. Menuliskan semua karakter dengan lengkap,
mulai dari ciri fisik, sifat, kebiasaan, sampai hal-hal kurang
penting semacam: dia suka memakai celana dalam atau tidak. Itu semua
saya buat. Belum berhenti sampai di situ, saya lebih rajin baca buku
tips menulis daripada membaca buku betulan. Mulai dari tips mengatur
konflik, flow cerita, menulis dialog, banyak pokoknya. Hasilnya? Saya
begitu sibuk mencari tahu bagaimana cara menulis, sementara saya
melupakan hal yang paling esensial: menulis. Sementara, setelah
kepala saya diisi oleh berbagai tips menulis tadi. Saya jadi takut
untuk menulis. Takut salah, takut keluar dari outline, takut hantu,
takut tsunami, dll. Tips menulis yang seharusnya jadi penolong justru
jadi tembok penghalang.
Bagi saya, tips menulis
itu memang perlu. Tapi menulisnya itu jauh lebih perlu. Ibarat bayi
yang baru belajar berjalan. Biarkan dulu ia bisa berjalan, setelah
itu baru arahkan ke mana dia harus berjalan. Pun halnya dengan
tips-tips menulis. Menulislah dulu, baru mencari arahnya ke mana.
Betul kita akan bekerja dua kali, karena harus memperbaiki tulisan
lama. Tapi itu jauh lebih baik, daripada dibatasi aturan aturan harus
begini harus begitu. Bagi saya, bebaslah menulis, terabas apapun yang
ada di depan, menulislah sekenanya. Toh seorang Pidi Baiq pun menulis
dengan bebas tanpa kenal aturan. Aturan EYD sekalipun.
Jadi intinya apa?
Intinya, hati-hati terhadap ketakutan kita sendiri. Tahu banyak belum
tentu membantu. Karena bagi saya, menulis adalah membebaskan diri.
Sudah maghrib, saya harus pamit untuk mengingatkan orang lain supaya
solat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar