Kamis, 10 Januari 2013

Tentang kritik

Selamat tahun baru 2013, by the way. Meskipun sekarang sudah memasuki tanggal 10 januari, tapi selamat yah.
Tahun lalu, berbicara seperti ini membuat saya seolah-olah ingin membahas tentang topik yang sudah lama. Tapi benar, tahun lalu sempat heboh di twitter mengenai orang yang menerbitkan artikel “lima buku tidak layak terbit di tahun 2012” silahkan cari sendiri artikelnya. Konon, list tersebut memuat salah satu buku dari penulis terkenal. Dan konon lagi, beberapa orang dari kalangan selebtuit menengah (ngehe) ngamuk-ngamuk dengan keberadaan artikel tersebut. Konon yang terakhir, sempat muncul ucapan dari salah seorang selebtuit ngehe yang kurang lebih mengatakan. “Bisanya mengkritik doang, udah nulis berapa buku?”. Tapi itu konon doang, mau percaya atau tidak, itu silahkan.
Saya.... sebetulnya saya bingung mau memanggil diri saya ini apa. Mau memprokalamirkan diri sebagai penulis, tapi karya saya belum ada yang terbit. Eh, pernah sih tulisan saya beberapa kali dimuat di sebuah buletin kampus. Karena yang punya buletin itu saya sendiri. Barangkali, saat ini belum ada penerbit yang beruntung buat nerbitin novel saya. Tapi bolehlah saya menyebut diri saya sebagai penulis. Bukan buat pamer-pamer, tapi buat kelihatan keren. (Iya ini juga pamer, monyong.)
Nah, kembali ke masalah di tangan. Sebagai penulis amatir, saya tidak melihat ada masalah sama sekali dari artikel bombastis tersebut. Terlepas yang menulis artikel tersebut memang seorang kritikus buku atau bukan, seorang penulis atau bukan, terlepas dari semua itu. Saya menekankan pada kritik yang disampaikan. Setiap orang bebas beropini, karena itu gratis. Kritik, sekejam apapun harus dihargai. Karena, pertama orang yang memberikan kritik itu menghabiskan waktu buat membaca dan memikirkan bahan buat mengkritik. Kedua, ada sejumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli buku tersebut. Bagi saya, wajar kalau orang membeli Duren kemudian bilang kalo duren itu kurang manis atau kurang enak.
Kedua, kritik itu datangnya dari siapa? Semua bisa mengkritik, itu sudah saya bilang. Tapi kritik seorang editor, seorang penulis dan seorang pembaca terhadap sebuah buku pasti berbeda. Tidak semua orang menatap mata dadu yang sama. Seorang penulis mungkin mengkritik buku dari metode penulisannya, kekuatan cerita, cara penyampaian, dll. Seorang editor mungkin melihat dari keunikan cerita, kemampuan bercerita, tata bahasa, atau bisakah novel tersebut dijual di pasar atau tidak. Seorang pembaca mungkin melihatnya dengan sederhana, bagi saya sebagai pembaca melihat sebuah novel dari kelogisan jalan cerita, pesan yang ingin disampaikan, dan apa yang saya dapat dari isi novel tersebut setelah saya mengeluarkan sejumlah rupiah dan membuang sekian lama waktu? Setiap orang berhak memberikan kritiknya, kalaupun dia belum menerbitkan karya, dia bisa mengkritik sebagai seorang penikmat buku. Jadi logika selebtuit yang saya sebut di awal, itu absurd. Mungkin otaknya geser. Karena kalau logika seperti itu diterima, kasihan sama dokter. Bakal ada adegan seperti ini.
Dokter kandungan : “Ibu sebaiknya mengurangi konsumsi pedas, biar kandungannya sehat.”
Ibu Hamil : “Pak dokter ini sok tau. Kayak yang pernah hamil aja!”
 atau adegan seperti ini:
Dokter : “Kalau sering gonta-ganti pasangan, nanti terkena HIV lho.”
Pasien : “Dokter udah pernah gonta ganti pasangan terus HIV nggak?”
Betul, marah karena bukunya dikritik itu wajar. Tapi setidaknya gunakan alasan yang waras.
Terakhir, masalah standarisasi ini paling rumit. Karena menyangkut selera individu. Kalimat paling ampuh untuk mengakhiri apapun adalah “semuanya kembali pada individu masing-masing”. Tapi pameo tersebut tidak salah. Bukan mau sombong, tapi mau pamer. Saya misalnya, saya terbiasa membaca buku-buku yang lebih sedikit penggemarnya. Semacam, Dunia Sophie, Misteri soliter, Maya (ada 5 judul buku Jostein Gaarder yang saya baca), beberapa karya Paulo Coelho, The stranger dan The Plague-nya Albert Camus (versi indonesia dari The Plague diterjemahkan N.H Dini jadi Sampar), Les Miserables, Hunchback of Notre Dame. Apalagi ya? George Orwell, Lewis Caroll. Udah ah, nanti dibilang takabur. Maka, standar yang saya punya terhadap sebuah novel pun pasti berbeda. Wajar kalau saya tidak merasa puas setelah membaca Kata Hati, sementara (mungkin) sebagian orang lain merasa novel itu “wah”. Buat saya absurd aja, novel kok konfliknya cuma satu, itu mah cerpen namanya. Jadi, tidak perlu merasa tersinggung dengan artikel itu. Siapa tahu standar penulisnya memang sudah tinggi (Pada paragrap awal penulis artikel tersebut menyebutkan beberapa nama penulis keren).
Jadi, Siapa penerbit yang mau menerbitkan buku saya? #KemudianMelacurkanDiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar