Selamat tahun baru 2013,
by the way. Meskipun sekarang sudah memasuki tanggal 10 januari, tapi
selamat yah.
Tahun lalu, berbicara
seperti ini membuat saya seolah-olah ingin membahas tentang topik
yang sudah lama. Tapi benar, tahun lalu sempat heboh di twitter
mengenai orang yang menerbitkan artikel “lima buku tidak layak
terbit di tahun 2012” silahkan cari sendiri artikelnya. Konon, list
tersebut memuat salah satu buku dari penulis terkenal. Dan konon
lagi, beberapa orang dari kalangan selebtuit menengah (ngehe)
ngamuk-ngamuk dengan keberadaan artikel tersebut. Konon yang
terakhir, sempat muncul ucapan dari salah seorang selebtuit ngehe
yang kurang lebih mengatakan. “Bisanya mengkritik doang, udah nulis
berapa buku?”. Tapi itu konon doang, mau percaya atau tidak, itu
silahkan.
Saya.... sebetulnya saya
bingung mau memanggil diri saya ini apa. Mau memprokalamirkan diri
sebagai penulis, tapi karya saya belum ada yang terbit. Eh, pernah
sih tulisan saya beberapa kali dimuat di sebuah buletin kampus.
Karena yang punya buletin itu saya sendiri. Barangkali, saat ini
belum ada penerbit yang beruntung buat nerbitin novel saya. Tapi
bolehlah saya menyebut diri saya sebagai penulis. Bukan buat
pamer-pamer, tapi buat kelihatan keren. (Iya ini juga pamer,
monyong.)
Nah, kembali ke masalah
di tangan. Sebagai penulis amatir, saya tidak melihat ada masalah
sama sekali dari artikel bombastis tersebut. Terlepas yang menulis
artikel tersebut memang seorang kritikus buku atau bukan, seorang
penulis atau bukan, terlepas dari semua itu. Saya menekankan pada
kritik yang disampaikan. Setiap orang bebas beropini, karena itu
gratis. Kritik, sekejam apapun harus dihargai. Karena, pertama orang
yang memberikan kritik itu menghabiskan waktu buat membaca dan
memikirkan bahan buat mengkritik. Kedua, ada sejumlah rupiah yang
harus dikeluarkan untuk membeli buku tersebut. Bagi saya, wajar kalau
orang membeli Duren kemudian bilang kalo duren itu kurang manis atau
kurang enak.
Kedua, kritik itu
datangnya dari siapa? Semua bisa mengkritik, itu sudah saya bilang.
Tapi kritik seorang editor, seorang penulis dan seorang pembaca
terhadap sebuah buku pasti berbeda. Tidak semua orang menatap mata
dadu yang sama. Seorang penulis mungkin mengkritik buku dari metode
penulisannya, kekuatan cerita, cara penyampaian, dll. Seorang editor
mungkin melihat dari keunikan cerita, kemampuan bercerita, tata
bahasa, atau bisakah novel tersebut dijual di pasar atau tidak.
Seorang pembaca mungkin melihatnya dengan sederhana, bagi saya
sebagai pembaca melihat sebuah novel dari kelogisan jalan cerita,
pesan yang ingin disampaikan, dan apa yang saya dapat dari isi novel
tersebut setelah saya mengeluarkan sejumlah rupiah dan membuang
sekian lama waktu? Setiap orang berhak memberikan kritiknya, kalaupun
dia belum menerbitkan karya, dia bisa mengkritik sebagai seorang
penikmat buku. Jadi logika selebtuit yang saya sebut di awal, itu
absurd. Mungkin otaknya geser. Karena kalau logika seperti itu
diterima, kasihan sama dokter. Bakal ada adegan seperti ini.
Dokter kandungan : “Ibu
sebaiknya mengurangi konsumsi pedas, biar kandungannya sehat.”
Ibu Hamil : “Pak
dokter ini sok tau. Kayak yang pernah hamil aja!”
atau adegan seperti ini:
Dokter : “Kalau
sering gonta-ganti pasangan, nanti terkena HIV lho.”
Pasien : “Dokter udah
pernah gonta ganti pasangan terus HIV nggak?”
Betul, marah karena
bukunya dikritik itu wajar. Tapi setidaknya gunakan alasan yang
waras.
Terakhir, masalah
standarisasi ini paling rumit. Karena menyangkut selera individu.
Kalimat paling ampuh untuk mengakhiri apapun adalah “semuanya
kembali pada individu masing-masing”. Tapi pameo tersebut tidak
salah. Bukan mau sombong, tapi mau pamer. Saya misalnya, saya
terbiasa membaca buku-buku yang lebih sedikit penggemarnya. Semacam,
Dunia Sophie, Misteri soliter, Maya (ada 5 judul buku Jostein Gaarder
yang saya baca), beberapa karya Paulo Coelho, The stranger dan The
Plague-nya Albert Camus (versi indonesia dari The Plague
diterjemahkan N.H Dini jadi Sampar), Les Miserables, Hunchback of
Notre Dame. Apalagi ya? George Orwell, Lewis Caroll. Udah ah, nanti
dibilang takabur. Maka, standar yang saya punya terhadap sebuah novel
pun pasti berbeda. Wajar kalau saya tidak merasa puas setelah membaca
Kata Hati, sementara (mungkin) sebagian orang lain merasa novel itu
“wah”. Buat saya absurd aja, novel kok konfliknya cuma satu, itu
mah cerpen namanya. Jadi, tidak perlu merasa tersinggung dengan
artikel itu. Siapa tahu standar penulisnya memang sudah tinggi (Pada
paragrap awal penulis artikel tersebut menyebutkan beberapa nama
penulis keren).
Jadi, Siapa penerbit yang
mau menerbitkan buku saya? #KemudianMelacurkanDiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar