Sambil duduk perempuan itu
memainkan rambut dengan telunjuk tangan kirinya. Sementara tangan kanannya
sibuk menusuk-nusuk makanan dengan garpu yang ia pegang erat.
“Kamu tidak makan?” Sambil memasukan
buah ke dalam mulutnya.
“Belum lapar.” Pria itu sibuk mengaduk-aduk kopi yang sebetulnya
sudah larut.
“Kesempatan seperti ini jarang
ada, kita harus menikmatinya.” Mulutnya sibuk mengunyah, tangannya sibuk
mengikuti setiap kata yang dikeluarkan.
“Situasi seperti ini membuat
perutku seperti terisi. Penuh.” Pria kurus yang mengenakan baju The Beatles itu
melihat jam yang berada di tangan kanannya. “Berapa lama waktu yang kita punya?”
“Sebentar lagi, mungkin. Kamu
harus mengisi pertutmu, perjalanan kita sangat panjang.”
“Aku benci harus meninggalkan
kota ini….”
“Kita semua begitu, Rama!” Dengan
cepat perempuan itu memotong obrolan.
“Dengarkan dulu, Dira.” Tangan
kanan Rama memegang erat tangan kiri Dira di atas meja. “Kamu, nikmati jamuan
ini, jamuan terakhir kita di sini. Kamu tahu,
sebelumnya kita tidak pernah duduk makan satu meja. Salah satu diantara kita
selalu merasa lebih lapar atau kenyang lebih dulu, tidak pernah bersamaan. Tidak
apa. Pernah lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Kamu tidak makan apapun. Kita masih
sama, masih ada yang merasa kenyang lebih dulu.”
“Aku akan makan, segera.” Lelaki
itu kemudian memanggil pelayan dan mulai sibuk membuka-buka daftar menu.
“Aku pernah bilang. Pertanyaan yang
paling penting bukan apa yang kamu makan, tapi dengan siapa kamu makan. Setelahnya
menyusul, dalam perayaan apa kita makan.”
“Kenapa makan menjadi hal yang
begitu penting bagimu?” Ia menutup daftar menu dan mengembalikannya ke pelayan,
setelah memesan satu porsi nasi goreng.
“Karena makan adalah perayaan. Kamu
tahu arti penting perayaan? Kita mungkin melakukan hal yang sama setiap hari,
tanpa merasa istimewa. Tapi, harus ada makna di balik semuanya. Kamu tahu, berapa
proses yang harus dilewati oleh sebuah makanan? Sebelum akhirnya dia layak
disebut sebagai `makanan` itupun belum tentu bisa kita terima.”
“Aku tahu.” Rama meminum kopinya.
“Tapi bukannya semua hal pun seperti itu? Ada banyak proses yang harus dilewati
sampai ia benar-benar sampai ke tangan kita.”
“Benar. Tapi kita tidak akan
bertahan lama tanpa makanan. Ingat agamamu bilang, perut yang kosong dekat
dengan kekufuran.”
“Aku pernah dengar itu. Tapi
perut yang terlalu penuh mendekatkan kita pada setan. Kamu harus sadar itu.”
“Aku tidak mau membahas hal itu. Aku
tidak mau kita jatuh ke dalam perdebatan agama, ke dalam perdebatan yang
membuat kita merasa paling benar, padahal tidak. Dalam perdebatan yang
memberikan kita hak untuk merendahkan orang lain, merendahkan orang yang
berbeda. Kamu tahu, itu bukan aku.”
“Jadi apa yang ingin kamu
sampaikan?”
“Aku sayang kamu.” Dira
meletakkan garpu dan memegang erat tangan Rama.
“Aku tahu itu.” Rama tersenyum.
“Aku ingin kamu merasakan.”
“Aku merasakan, kamu tahu itu
dalam setiap makanan yang aku bawakan.”
“Tapi kamu menolak untuk
menyantapnya bersama. Kamu menolak untuk menjadi bagian darinya, daripada kita.
Aku dan makanan-makanan yang mengorbankan dirinya demi aku.”
“Aku rela meletakkan nadi di
bawah kakimu, aku bersedia.”
“Aku tidak ingin kamu mati. Aku
ingin kamu merayakan, merayakan usaha orang-orang yang membuat nasi goreng
pesananmu. Makanan terenak di dunia nomor dua.”
“Setiap moment denganmu, akan selalu
aku rayakan.”
“Memang seharusnya begitu, sayang
sekarang waktu kita terlalu sedikit. Kamu sudah siap?”
“Selalu.” Rama meraih tangan Dira
lalu berdiri, keluar dari restoran tersebut. Ribuan orang sudah berkumpul,
berada di sana bersama dengan orang-orang yang dicintainya. Mereka saling
menatap, saling berpeluk, saling bertukar air mata. Satu sama lain tidak saling
mengacuhkan. Mereka semua sibuk.
“Itu sudah datang!” Rama menunjuk
langit jauh.
“Iya, sayang. Ajal kita datang.”
Dira melingkarkan tangannya ke pundak Rama. “Kita akan menempuh perjalanan yang
lama.”
“Sangat lama.” Rama mendekap erat
Dira.
Sedetik kemudian, meteor
menghantam bumi. Hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar