Kamis, 10 Januari 2013

Makan

Sambil duduk perempuan itu memainkan rambut dengan telunjuk tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sibuk menusuk-nusuk makanan dengan garpu yang ia pegang erat.
“Kamu tidak makan?” Sambil memasukan buah ke dalam mulutnya.
“Belum lapar.” Pria itu  sibuk mengaduk-aduk kopi yang sebetulnya sudah larut.
“Kesempatan seperti ini jarang ada, kita harus menikmatinya.” Mulutnya sibuk mengunyah, tangannya sibuk mengikuti setiap kata yang dikeluarkan.
“Situasi seperti ini membuat perutku seperti terisi. Penuh.” Pria kurus yang mengenakan baju The Beatles itu melihat jam yang berada di tangan kanannya. “Berapa lama waktu yang kita punya?”
“Sebentar lagi, mungkin. Kamu harus mengisi pertutmu, perjalanan kita sangat panjang.”
“Aku benci harus meninggalkan kota ini….”
“Kita semua begitu, Rama!” Dengan cepat perempuan itu memotong obrolan.
“Dengarkan dulu, Dira.” Tangan kanan Rama memegang erat tangan kiri Dira di atas meja. “Kamu, nikmati jamuan ini, jamuan  terakhir kita di sini. Kamu tahu, sebelumnya kita tidak pernah duduk makan satu meja. Salah satu diantara kita selalu merasa lebih lapar atau kenyang lebih dulu, tidak pernah bersamaan. Tidak apa. Pernah lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Kamu tidak makan apapun. Kita masih sama, masih ada yang merasa kenyang lebih dulu.”
“Aku akan makan, segera.” Lelaki itu kemudian memanggil pelayan dan mulai sibuk membuka-buka daftar menu.
“Aku pernah bilang. Pertanyaan yang paling penting bukan apa yang kamu makan, tapi dengan siapa kamu makan. Setelahnya menyusul, dalam perayaan apa kita makan.”
“Kenapa makan menjadi hal yang begitu penting bagimu?” Ia menutup daftar menu dan mengembalikannya ke pelayan, setelah memesan satu porsi nasi goreng.
“Karena makan adalah perayaan. Kamu tahu arti penting perayaan? Kita mungkin melakukan hal yang sama setiap hari, tanpa merasa istimewa. Tapi, harus ada makna di balik semuanya. Kamu tahu, berapa proses yang harus dilewati oleh sebuah makanan? Sebelum akhirnya dia layak disebut sebagai `makanan` itupun belum tentu bisa kita terima.”
“Aku tahu.” Rama meminum kopinya. “Tapi bukannya semua hal pun seperti itu? Ada banyak proses yang harus dilewati sampai ia benar-benar sampai ke tangan kita.”
“Benar. Tapi kita tidak akan bertahan lama tanpa makanan. Ingat agamamu bilang, perut yang kosong dekat dengan kekufuran.”
“Aku pernah dengar itu. Tapi perut yang terlalu penuh mendekatkan kita pada setan. Kamu harus sadar itu.”
“Aku tidak mau membahas hal itu. Aku tidak mau kita jatuh ke dalam perdebatan agama, ke dalam perdebatan yang membuat kita merasa paling benar, padahal tidak. Dalam perdebatan yang memberikan kita hak untuk merendahkan orang lain, merendahkan orang yang berbeda. Kamu tahu, itu bukan aku.”
“Jadi apa yang ingin kamu sampaikan?”
“Aku sayang kamu.” Dira meletakkan garpu dan memegang erat tangan Rama.
“Aku tahu itu.” Rama tersenyum.
“Aku ingin kamu merasakan.”
“Aku merasakan, kamu tahu itu dalam setiap makanan yang aku bawakan.”
“Tapi kamu menolak untuk menyantapnya bersama. Kamu menolak untuk menjadi bagian darinya, daripada kita. Aku dan makanan-makanan yang mengorbankan dirinya demi aku.”
“Aku rela meletakkan nadi di bawah kakimu, aku bersedia.”
“Aku tidak ingin kamu mati. Aku ingin kamu merayakan, merayakan usaha orang-orang yang membuat nasi goreng pesananmu. Makanan terenak di dunia nomor dua.”
“Setiap moment denganmu, akan selalu aku rayakan.”
“Memang seharusnya begitu, sayang sekarang waktu kita terlalu sedikit. Kamu sudah siap?”
“Selalu.” Rama meraih tangan Dira lalu berdiri, keluar dari restoran tersebut. Ribuan orang sudah berkumpul, berada di sana bersama dengan orang-orang yang dicintainya. Mereka saling menatap, saling berpeluk, saling bertukar air mata. Satu sama lain tidak saling mengacuhkan. Mereka semua sibuk.
“Itu sudah datang!” Rama menunjuk langit jauh.
“Iya, sayang. Ajal kita datang.” Dira melingkarkan tangannya ke pundak Rama. “Kita akan menempuh perjalanan yang lama.”
“Sangat lama.” Rama mendekap erat Dira.
Sedetik kemudian, meteor menghantam bumi. Hancur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar