Kamis, 10 Januari 2013

Something Changed

I write this song, two hours before we met.
I did not know your name, or what you look like yet. 
 
Berulang kali pria itu menatap jam yang berada di tangan kanannya. Matanya mengikuti detik-detik jarum jam yang terus melaju. Sesekali ia melihat ponsel yang diletakkan di atas meja berantakan tersebut. “Mungkin ia sudah tertidur.” Katanya pelan pada dirinya sendiri sambil menatap layar ponselnya. Ia mengalihkan perhatiannya pada layar komputer. Jemarinya lincah memainkan mouse, kemudian meng-klik sebuah logo kuning, logo yahoo messenger. Nama yang dituju menampilkan warna abu-abu. Pertanda orang tersebut sedang tidak online. Dengan rasa kecewa ia menutup program tersebut dan membenamkan wajah dalam kedua tangannya. 
 
Seminggu, waktu yang dibutuhkan Bumi untuk membuatnya jatuh cinta pada gadis berambut sebahu dengan matanya yang bulat. Ia berulang kali menatap foto gadis berkacamata itu dengan lemas. Sudah enam jam Laras belum membalas pesan singkat Bumi. Tidak seperti biasanya, Laras selalu cepat. Barangkali karena isi pesan yang dikirim oleh Bumi kali ini berbeda. 
 
“Besok kita nonton, gimana?”
 
Pikirannya melayang jauh. Seminggu yang lalu ia tidak mengenal rasa ini. Baginya biasa saja ketika bertemu dengan seorang perempuan, apalagi di dunia maya. Semuanya serba biasa, awalnya. Tapi tidak sekarang. Senja Larasati, seorang perempuan yang dikenalnya dari sebuah milis memang istimewa. Bumi, biasa lelaki itu disebut, adalah seorang blogger. Tulisannya yang jenaka seringkali membuat orang tertawa. Termasuk Senja Larasati, penulis yang biasa larut dalam keseriusan. Laras, begitu Bumi biasa memanggilnya, jatuh cinta dalam tulisan Bumi yang begitu jujur. Berangkat dari seringnya saling mengomentari tulisan masing-masing, akhirnya mereka sepakat untuk saling bertukar yahoo messenger. Keakraban merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Setiap malam, mereka bukan hanya membagi cerita, tapi juga tawa. Laras seringkali bercerita mengenai masa lalu bersama pria yang menyakitinya, Bumi selalu berusaha menjadi badut untuk melepaskan Laras dari lara yang menyelimutinya. Laras menyukainya. Siapa yang tidak? Memiliki seseorang yang selalu ingin membuatmu tertawa adalah anugerah. Sampai akhirnya Bumi merasakan sebuah getaran yang berbeda. Degup jantungnya berubah cepat ketika menerima setiap pesan dari laras. Mukanya merona ketika Laras memberikan pujian. Seringkali ia harus tertawa sendiri. Ia seperti menaiki sebuah roller coaster. Setiap detik adalah kejutan. Setiap detik adalah menegangkan. Terkadang ia menutup matanya. Terkadang ia membuka matanya dan berteriak. Bumi menikmati rasa ini. Hingga akhirnya ia ingin rasa itu ada di seluruh harinya, bukan hanya malam hari. 
 
“Aku boleh minta nomor handphone kamu?” Suatu hari Bumi memberanikan diri.
“Buat apa? Kan ada ym.” Laras membalas singkat.
“Buat disimpan di contact.” Ia menambahi emote senyum di akhir kalimat tersebut. 
 …….
Sedetik ia menyesali apa yang sudah dilakukannya. Barangkali ia salah menafsirkan perilaku Laras. Atau barangkali jantungnya berdegup terlalu cepat, hingga ia lupa untuk mengendalikan perasaannya.
Bunyi pesan masuk membuyarkan lamunannya. Sedetik kemudian Bumi langsung meraih ponsel yang diam di atas meja. Senja Laras, nama yang terpampang di kotak masuk. Degup jantung bumi semakin cepat. Sedikit ragu, akhirnya ia membuka pesan tersebut. 
 
 
“Besok Aku ada ujian.” 
 
Bumi menjatuhkan punggungnya dalam sandaran kursi. Keresahannya terjawab sudah. Betul, Laras hanya menginginkan pertemanan yang terjalin di dunia maya. Mungkin baginya, itu cukup. Bumi berpikir lama untuk membalas pesan tersebut. Laras tidak pernah mengirimkan pesan singkat yang hanya berisi ng satu kalimat. Ia selalu antusias berbicara kepada Bumi tentang apapun. 
 
Belum selesai Bumi membalas pesan tersebut, ponselnya kembali berbunyi. 
 
“Keburu kepijit. Kalau week end aja, gimana?” 
 
Senyum langsung menghiasi wajah Bumi. Air mukanya berubah menjadi ceria. Ia melupakan semuanya, dan segera membalas pesan itu. Tanpa berpikir dua kali. 
 
“Siap, Komandan.”
 
You might have changed your mind and seen your friends.         
Life could have been very different but then,      
something changed.
……………….
 
Kepalanya tidak berhenti bergerak, ke kanan dan ke kiri. Matanya menatap liar, seperti musang yang mencari anak ayam. 
 
 
“Kamu di mana?” Ia dengan cepat mengirim pesan singkat kepada Laras.
“Aku di depan toilet, dekat permainan anak-anak. Kamu cepet ke sini.” 
 
Sedetik kemudian Bumi mendapati seorang gadis berkacamata berdiri sendiri. Rambutnya hitam, terurai. Kulitnya coklat, indah. Sementara jemarinya begitu mungil, memegang ponsel kecilnya. 
 
“Bumi! Lama sekali.” Ia tersenyum, alih-alih menjabat tangan bumi, ia malah meninju lengan Bumi.
“Kamu nggak bilang di depan toilet yang ini, aku nyari di toilet yang itu.” Bumi menjelaskan diikuti dengan gestur tangan yang terentang ke sana sini. “Filmnya udah mulai, masuk sekarang?”
Laras tersenyum. Diam. Menganggung. 
 
Segera Bumi meraih tangan Laras, menggenggamnya erat. 
 
Do you believe that there's someone up above?               
Does he have a timetable directing acts of love?
………….
 
“Kamu yakin ini akan berhasil?” Bumi bertanya kepada teman yang sibuk merapikan karton-karton berukuran besar.
“Aku, jamin.” Balasnya tanpa melihat sedikitpun kepada Bumi.
“Aku pernah melihat adegan ini di film, kalau tidak berhasil akan sangat memalukan.”
“Iya. Love Actually. Cepat, bawa kertas-kertas besar ini.”
“Aku seperti orang yang mau berdemo, bukan menyatakan cinta.”
……………
 
 
29 Juni. 19.35. WIB.
Bumi sampai di depan rumah dengan pagar hitam. Pagar besi yang renggang membuat ia bisa langsung menatap pintu dan mengira-ngira siapa yang akan membukanya.  Hujan besar baru saja reda. Bumi harus berjinjit dan menghindari genangan-genangan air dari kakinya. Ia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mendekati pagar tersebut. Dalam hitungan menit Laras akan ke luar dan Bumi harus menyatakan cintanya. Semula, ia sedikit ragu. Gemericik hujan memberinya semangat. 
 
Pintu dibuka!
 
Degup jantung Bumi berdetak kencang. Ia nyembunyikan lemar-lembar kertas besar di balik punggungnya.
“Bumi, ada apa?” Laras menunjukkan wajah keheranan. 
 
Bumi tersenyum. “Shuusssh” ia menempelkan telunjuk di mulutnya. Memerintah Laras untuk diam. Mereka berdiri saling berhadapan. Bumi menempelkan kertas besar itu di depan dadanya. Kertas itu ukurannya besar, menutupi dada Bumi. Ia harus memegangnya dengan kedua tangannya. Satu persatu ia melepaskan kertas besar itu dan memperlihatkannya kepada Laras. 
 
With any luck this year, I met you.
Bumi memperlihatkan kertas pertama. Laras menatap, heran. 
 
And its not love at first sight things. 
Kertas kedua; laras mengetahui arah semua ini. 
 
But today i`m standing here in front of you.
Kertas ketiga; senyum Laras mulai berkembang. 
 
Do I look like a clown or  an idiot?
Kali ini, Laras menutup mulut dengan kedua tangannya. Mencoba menahan tawa. 
 
Its ok. All I want to say is….
Deg! Degup jantung keduanya berpacu. 
 
To me you are perfect…
Laras tersenyum. Bumi membuka kertas terakhirnya. 
 
Will you be my lady?
Ia kemudian memberikan setangkai mawar putih. 
 
Laras terdiam. Satu detik terlama dalam hidup Bumi.
Laras masih tidak bersuara. Sedetik kemudian ia melangkah dan langsung memeluk Bumi.
“Terima kasih, Bumi.” 
 
When we woke up that morning we had no way of knowing,    
that in a matter of hours we'd change the way we were going. 
Where would I be now if we'd never met?
 
NB: Cerpen ini diangkat dari lagu Pulp yang berjudul Something Changed. NB lagi: Maaf untuk bahasa inggrisnya yang terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar