I write this song,
two hours before we met.
I did not know your
name, or what you look like yet.
Berulang kali pria itu menatap
jam yang berada di tangan kanannya. Matanya mengikuti detik-detik jarum jam
yang terus melaju. Sesekali ia melihat ponsel yang diletakkan di atas meja
berantakan tersebut. “Mungkin ia sudah tertidur.” Katanya pelan pada dirinya
sendiri sambil menatap layar ponselnya. Ia mengalihkan perhatiannya pada layar komputer.
Jemarinya lincah memainkan mouse, kemudian meng-klik sebuah logo kuning, logo
yahoo messenger. Nama yang dituju menampilkan warna abu-abu. Pertanda orang
tersebut sedang tidak online. Dengan rasa kecewa ia menutup program tersebut
dan membenamkan wajah dalam kedua tangannya.
Seminggu, waktu yang dibutuhkan
Bumi untuk membuatnya jatuh cinta pada gadis berambut sebahu dengan matanya
yang bulat. Ia berulang kali menatap foto gadis berkacamata itu dengan lemas. Sudah
enam jam Laras belum membalas pesan singkat Bumi. Tidak seperti biasanya, Laras
selalu cepat. Barangkali karena isi pesan yang dikirim oleh Bumi kali ini
berbeda.
“Besok kita nonton, gimana?”
Pikirannya melayang jauh. Seminggu
yang lalu ia tidak mengenal rasa ini. Baginya biasa saja ketika bertemu dengan
seorang perempuan, apalagi di dunia maya. Semuanya serba biasa, awalnya. Tapi tidak
sekarang. Senja Larasati, seorang perempuan yang dikenalnya dari sebuah milis
memang istimewa. Bumi, biasa lelaki itu disebut, adalah seorang blogger. Tulisannya
yang jenaka seringkali membuat orang tertawa. Termasuk Senja Larasati, penulis
yang biasa larut dalam keseriusan. Laras, begitu Bumi biasa memanggilnya, jatuh
cinta dalam tulisan Bumi yang begitu jujur. Berangkat dari seringnya saling
mengomentari tulisan masing-masing, akhirnya mereka sepakat untuk saling
bertukar yahoo messenger. Keakraban merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Setiap
malam, mereka bukan hanya membagi cerita, tapi juga tawa. Laras seringkali
bercerita mengenai masa lalu bersama pria yang menyakitinya, Bumi selalu
berusaha menjadi badut untuk melepaskan Laras dari lara yang menyelimutinya. Laras
menyukainya. Siapa yang tidak? Memiliki seseorang yang selalu ingin membuatmu
tertawa adalah anugerah. Sampai akhirnya Bumi merasakan sebuah getaran yang
berbeda. Degup jantungnya berubah cepat ketika menerima setiap pesan dari
laras. Mukanya merona ketika Laras memberikan pujian. Seringkali ia harus
tertawa sendiri. Ia seperti menaiki sebuah roller coaster. Setiap detik adalah
kejutan. Setiap detik adalah menegangkan. Terkadang ia menutup matanya. Terkadang
ia membuka matanya dan berteriak. Bumi menikmati rasa ini. Hingga akhirnya ia ingin
rasa itu ada di seluruh harinya, bukan hanya malam hari.
“Aku boleh minta nomor handphone kamu?” Suatu hari Bumi
memberanikan diri.
“Buat apa? Kan ada ym.” Laras membalas singkat.
“Buat disimpan di contact.” Ia menambahi emote senyum di
akhir kalimat tersebut.
…….
Sedetik ia menyesali apa yang
sudah dilakukannya. Barangkali ia salah menafsirkan perilaku Laras. Atau barangkali
jantungnya berdegup terlalu cepat, hingga ia lupa untuk mengendalikan
perasaannya.
Bunyi pesan masuk membuyarkan
lamunannya. Sedetik kemudian Bumi langsung meraih ponsel yang diam di atas
meja. Senja Laras, nama yang terpampang di kotak masuk. Degup jantung bumi
semakin cepat. Sedikit ragu, akhirnya ia membuka pesan tersebut.
“Besok Aku ada ujian.”
Bumi menjatuhkan punggungnya
dalam sandaran kursi. Keresahannya terjawab sudah. Betul, Laras hanya
menginginkan pertemanan yang terjalin di dunia maya. Mungkin baginya, itu
cukup. Bumi berpikir lama untuk membalas pesan tersebut. Laras tidak pernah
mengirimkan pesan singkat yang hanya berisi ng satu kalimat. Ia selalu antusias
berbicara kepada Bumi tentang apapun.
Belum selesai Bumi membalas pesan
tersebut, ponselnya kembali berbunyi.
“Keburu kepijit. Kalau week end
aja, gimana?”
Senyum langsung menghiasi wajah
Bumi. Air mukanya berubah menjadi ceria. Ia melupakan semuanya, dan segera
membalas pesan itu. Tanpa berpikir dua kali.
“Siap, Komandan.”
You might have changed your mind and seen your friends.
Life could have been very different but then,
something changed.
Life could have been very different but then,
something changed.
……………….
Kepalanya tidak berhenti
bergerak, ke kanan dan ke kiri. Matanya menatap liar, seperti musang yang
mencari anak ayam.
“Kamu di mana?” Ia dengan cepat
mengirim pesan singkat kepada Laras.
“Aku di depan toilet, dekat
permainan anak-anak. Kamu cepet ke sini.”
Sedetik kemudian Bumi mendapati
seorang gadis berkacamata berdiri sendiri. Rambutnya hitam, terurai. Kulitnya coklat,
indah. Sementara jemarinya begitu mungil, memegang ponsel kecilnya.
“Bumi! Lama sekali.” Ia
tersenyum, alih-alih menjabat tangan bumi, ia malah meninju lengan Bumi.
“Kamu nggak bilang di depan
toilet yang ini, aku nyari di toilet yang itu.” Bumi menjelaskan diikuti dengan
gestur tangan yang terentang ke sana sini. “Filmnya udah mulai, masuk sekarang?”
Laras tersenyum. Diam. Menganggung.
Segera Bumi meraih tangan Laras,
menggenggamnya erat.
Do you believe that there's someone up above?
Does he have a timetable directing acts of love?
Does he have a timetable directing acts of love?
………….
“Kamu yakin ini akan berhasil?”
Bumi bertanya kepada teman yang sibuk merapikan karton-karton berukuran besar.
“Aku, jamin.” Balasnya tanpa
melihat sedikitpun kepada Bumi.
“Aku pernah melihat adegan ini di
film, kalau tidak berhasil akan sangat memalukan.”
“Iya. Love Actually. Cepat, bawa
kertas-kertas besar ini.”
“Aku seperti orang yang mau
berdemo, bukan menyatakan cinta.”
……………
29 Juni. 19.35. WIB.
Bumi sampai di depan rumah dengan
pagar hitam. Pagar besi yang renggang membuat ia bisa langsung menatap pintu
dan mengira-ngira siapa yang akan membukanya. Hujan besar baru saja reda. Bumi harus
berjinjit dan menghindari genangan-genangan air dari kakinya. Ia mengumpulkan
seluruh keberaniannya untuk mendekati pagar tersebut. Dalam hitungan menit
Laras akan ke luar dan Bumi harus menyatakan cintanya. Semula, ia sedikit ragu.
Gemericik hujan memberinya semangat.
Pintu dibuka!
Degup jantung Bumi berdetak
kencang. Ia nyembunyikan lemar-lembar kertas besar di balik punggungnya.
“Bumi, ada apa?” Laras
menunjukkan wajah keheranan.
Bumi tersenyum. “Shuusssh” ia
menempelkan telunjuk di mulutnya. Memerintah Laras untuk diam. Mereka berdiri
saling berhadapan. Bumi menempelkan kertas besar itu di depan dadanya. Kertas itu
ukurannya besar, menutupi dada Bumi. Ia harus memegangnya dengan kedua
tangannya. Satu persatu ia melepaskan kertas besar itu dan memperlihatkannya
kepada Laras.
With any luck this year, I met you.
Bumi memperlihatkan kertas
pertama. Laras menatap, heran.
And its not love at first sight things.
Kertas kedua; laras mengetahui
arah semua ini.
But today i`m standing here in front of you.
Kertas ketiga; senyum Laras mulai
berkembang.
Do I look like a clown or an
idiot?
Kali ini, Laras menutup mulut
dengan kedua tangannya. Mencoba menahan tawa.
Its ok. All I want to say is….
Deg! Degup jantung keduanya
berpacu.
To me you are perfect…
Laras tersenyum. Bumi membuka
kertas terakhirnya.
Will you be my lady?
Ia kemudian memberikan setangkai mawar
putih.
Laras terdiam. Satu detik terlama
dalam hidup Bumi.
Laras masih tidak bersuara. Sedetik
kemudian ia melangkah dan langsung memeluk Bumi.
“Terima kasih, Bumi.”
When we woke up that morning we had no way of knowing,
that in a matter of hours we'd change the way we were going.
Where would I be now if we'd never met?
that in a matter of hours we'd change the way we were going.
Where would I be now if we'd never met?
NB: Cerpen ini diangkat dari lagu Pulp yang berjudul Something Changed. NB lagi: Maaf untuk bahasa inggrisnya yang terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar