Sebetulnya, gue males
kalau disuruh menceritakan sebuah cerita cinta. Kebanyakan orang menganggap
cerita cinta terlalu biasa. Pertemuan diawali dengan bertabrakan, menjatuhkan
buku, menghancurkan sepeda, dan semacamnya. Kemudian saling membenci, lama-lama
menyadari bahwa rasa yang selama ini ada bukanlah benci, tetapi cinta. Kemudian
saling mencinta. Semuanya serba
sederhana. Terima kasih kepada para pembuat FTV, sekarang orang-orang sudah punya
gambaran sebuah cerita cinta kebanyakan. Gue, sebagai narrator cerita ini
merasa pusing. Gue harus berusaha meyakinkan orang-orang kalo ini bukan cerita
cinta biasa. Seenggaknya menurut gue kayak gitu.
Gue nulis cerita ini,
tapi bukan mengalaminya. Jadi kalau mau protes, jangan ke gue. Gue pun sama
pendengar, cuma gue dikasih kesempatan buat bercerita lagi ke orang lain yang
lebih banyak. Lengkap dengan detail semuanya. Gue bukan Tuhan, hanya orang yang
melihat dengan seksama.
Dua paragraph itu udah
bikin kalian yakin nggak? Masa sih belum?
Sebenernya, gue sedikit
bingung harus mulai dari mana. Tapi gini…
Suatu
hari…
“Dir, Tama Dir! Itu
liat!” Arina membuyarkan konsentrasi Dira yang sedari tadi sibuk menonton film
korea di laptop.
“Mana, ah.” Dira
melepaskan pandangan dari laptop. Berusaha mengikuti telunjuk Arina ke arah
jauh.
“Jalan sama siapa ya
dia.” Suara Arina tidak lagi gembira.
“Oh, itu pacarnya.”
Dira tenang. Sambil kembali asyik memainkan laptop.
“Tama udah punya
pacar?” Arina menari kursi, mendekatkannya ke arah Dira.
“Iya.” Dira menutup
laptop yang belum dimatikan itu. “Tapi tenang aja, mereka baru jadian kok.”
“Hah? Maksud lu?”
Andira Amerita. Seorang
gadis belia dengan rambut hitamnya yang selalu terikat. Ia menyeruput lemon tea
yang ada di depannya. Membiarkan rambutnya terurai untuk diikat dengan rapi.
“lu tahu nggak,” Ia berhenti sejenak untuk memakai kacamatanya “Ada hal yang
beda ketika lu bisa merebut pacar orang lain” Dira kemudian tersenyum
“Ibaratnya kayak kita lagi ngebut. Dapetin cowok yang punya pacar itu kita
ngebut di jalan yang ramai, banyak tantangannya. Sementara dapetin cowok yang
single itu kita ngebut di jalan yang kosong, nggak ada tantangannya.”
“Emang elu nggak takut
karma?”
“Nggak. Kalau suatu
hari pacar gue direbut orang, itu berati salah gue.”
“Kok salah elu? Bisa
aja si cowoknya yang emang keganjenan.”
“Cinta adalah
kompetisi. Kalau kita ada di posisi pertama, kita harus mempertahankan itu.
Nggak boleh disalip sama orang yang di belakang kita. Nggak ada pemenang buat
posisi kedua.”
“Dasar psikopat!” Arina
mengambil gelas lemon tea dari tangan Dira dan meminumnya. “Kenapa sih elu
nggak nyari pacar yang wajar aja kayak orang lain? Maksud gue, banyak kan orang
yang suka sama elu. Tinggal milih sat uterus punya pacar, deh.”
“Di mana tantangannya
kalo kayak gitu? Punya pacar mah biasa. Prosesnya yang harus nggak biasa.”
“Dengan cara ngerebut
pacar orang lain?”
“Salah satunya. Iya.”
“Cara lainnya?”
“Gue masih nggak tau,
Na. Entahlah, mungkin ada cara lain. Tapi gue nggak mau cuma gara-gara ada
cowok yang ngedeketin, terus tiba-tiba pacaran gitu aja. Nggak ada
tantangannya.”
“Nyari pacar di hutan gih, pasti penuh
tantangan.”
“Gue nyari tantangan,
bukan nyari tarzan, Na.” Dira tertawa renyah.
“Dia lewat, Tuh.”
Dira segera
mengusap-usap rambut dan membenarkan letak kacamatanya. “Oke, Nggak?” Ia
menatap Arina, tajam. Tanpa menunggu jawaban dari Arina, Dira langsung berdiri.
Tersenyum penuh percaya diri, memandang Pratama yang mengambil rute
melewatinya.
“Hey, Tama! Apa Kabar?”
Dira tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya.
Tama terlihat kaget.
Dengan gugup ia membalas ayunan tangan Dira. “Hey, Dir. Baik. Kamu?”
“Seperti inilah.” Dira
membentangkan kedua lengannya. Sambil tersenyum. Arina hanya bisa diam menatap
mereka. Perempuan yang bersama Tama mulai memberikan tatapan tajam kepada Dira.
“Kenalin, pacar gue.”
“Melisa.” Perempuan itu
tersenyum seperlunya, sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Oh. Hai. Akhirnya
ketemu juga sama kamu. Tama sering banget cerita soal kamu.”
“Oh, ya?” Tidak ada
antusiasme dalam intonasi Melissa. Suaranya terdengar datar.
“Begitulah. Kita kan
satu jurusan, jadi sering banget sekelas bareng. Tama sering cerita kok nyebut
nama kamu. Cuma dua minggu ini aja, sih entah kenapa jarang ketemu sama dia.”
Dira meninju lengan Tama. “Sombong banget, boi. Nggak pernah nyalain ym pula.”
“Biasalah, gue kemaren
sibuk banget.” Tama menatap gesture tubuh pacarnya yang terlihat tidak nyaman.
Segera ia mengakhiri obrolan dengan Dira. “Gue cabut dulu, ya?”
“Oke. Hati-hati, boi.”
Dira tersenyum. Sekilas, dibalas dengan senyum kecut penuh cemburu dari Melisa.
Dira tersenyum bangga.
……..
“Dasar elu emang
gila!” Arina segera mengeluarkan suara
setelah punggung Tama menghilang dari tatapan mata mereka.
“Ada yang
salah sama apa yang gue omongin?
Kita kan emang satu jurusan sama Tama. Emang sering ngobrol. Emang dia sering
cerita.” Dira duduk dan kembali membuka laptopnya.
“Lu nggak liat muka
pacarnya tadi? Udah kayak mau nelen si Tama. Gue yakin abis ini, si Tama bakal
diberondong banyak pertanyaan tentang elu.”
“Terserah, yang jelas
gue kan ngomong yang sebenarnya. Salah si Tama, ngelakuin semuanya ke gue.”
Dira sibuk membuka-buka folder lagu dari laptop miliknya.
“Mereka pacaran berapa
lama, sih?”
“Hampir empat tahun,
kalo gue nggak salah. Dengan catatan record dua kali diselingkuhi.”
“Orang seganteng Tama
diselingkuhi? Apalagi yang cewek itu cari, sih. Udah punya pacar ganteng,
gagah, terkenal di kampus. Masih aja selingkuh.”
“Entahlah. Gue
ngedenger dari Tama semuanya langsung. Tama memperlambat lajunya, makanya dia
disalip sama orang lain.” Dira memutar lagu melalui winamp di laptopnya.
I
didn't hear you leave. I wonder how am I still here
I don't want to move a thing. It might change my memory
I don't want to move a thing. It might change my memory
Suara lembut Dido
mengalun. Menjadi suara yang turut serta mengikuti obrolan dua orang mahasiswi
Universitas Bandung ini. Dira merupakan mahasiswa tingkat tiga jurusan Public
Relation. Sebagai orang yang masuk
deretan mahasiswi cantik, Dira cukup terkenal. Betul kata Arina, tidak sulit mencari
pacar bagi seorang Dira.
Oh
I am what I am. I'll do what I want but I can't hide
“Terus rencana elu ke
depan gimana? Ngedeketin si Tama, gitu?”
“Nggak perlu, Tama
bakal ngedeketin sendiri kok. Emangnya gue baru kenal dia?” Dira tertawa.
Oh
I am what I am
I'll do what I want but I can't hide
I won't go I won't sleep
I can't breathe until you're resting here with me
I won't leave I can't hide
I cannot be until you're resting here with me
I'll do what I want but I can't hide
I won't go I won't sleep
I can't breathe until you're resting here with me
I won't leave I can't hide
I cannot be until you're resting here with me
Dira membereskan laptop
dan peralatan lainnya dari meja. Ia memasukkan laptop tersebut ke dalam tas
yang ia tenteng. “Masuk kelas yuk, Rin.” Mereka beranjak dari kursi. Satu detik
kemudian. *tring* blackberry Dira berbunyi. Dira menatap layar Hp sambil
tersenyum. Al Pratama terlihat dalam deretan chat paling atas.
Apa yang ada di benak
gue setelah selesai menceritakan bab ini? Bener pasti mikirin Andira. Kalau mau
lebih spesifik, Blackberry jenis apa yang dipake Andira. Krik.. krik..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar