Selasa, 15 Januari 2013

Kotak: Prolog


Sebetulnya, gue males kalau disuruh menceritakan sebuah cerita cinta. Kebanyakan orang menganggap cerita cinta terlalu biasa. Pertemuan diawali dengan bertabrakan, menjatuhkan buku, menghancurkan sepeda, dan semacamnya. Kemudian saling membenci, lama-lama menyadari bahwa rasa yang selama ini ada bukanlah benci, tetapi cinta. Kemudian saling mencinta.  Semuanya serba sederhana. Terima kasih kepada para pembuat FTV, sekarang orang-orang sudah punya gambaran sebuah cerita cinta kebanyakan. Gue, sebagai narrator cerita ini merasa pusing. Gue harus berusaha meyakinkan orang-orang kalo ini bukan cerita cinta biasa. Seenggaknya menurut gue kayak gitu. 

Gue nulis cerita ini, tapi bukan mengalaminya. Jadi kalau mau protes, jangan ke gue. Gue pun sama pendengar, cuma gue dikasih kesempatan buat bercerita lagi ke orang lain yang lebih banyak. Lengkap dengan detail semuanya. Gue bukan Tuhan, hanya orang yang melihat dengan seksama.
Dua paragraph itu udah bikin kalian yakin nggak? Masa sih belum?
Sebenernya, gue sedikit bingung harus mulai dari mana. Tapi gini… 

Suatu hari… 

“Dir, Tama Dir! Itu liat!” Arina membuyarkan konsentrasi Dira yang sedari tadi sibuk menonton film korea di laptop.
“Mana, ah.” Dira melepaskan pandangan dari laptop. Berusaha mengikuti telunjuk Arina ke arah jauh.
“Jalan sama siapa ya dia.” Suara Arina tidak lagi gembira.
“Oh, itu pacarnya.” Dira tenang. Sambil kembali asyik memainkan laptop.
“Tama udah punya pacar?” Arina menari kursi, mendekatkannya ke arah Dira.
“Iya.” Dira menutup laptop yang belum dimatikan itu. “Tapi tenang aja, mereka baru jadian kok.”
“Hah? Maksud lu?”

Andira Amerita. Seorang gadis belia dengan rambut hitamnya yang selalu terikat. Ia menyeruput lemon tea yang ada di depannya. Membiarkan rambutnya terurai untuk diikat dengan rapi. “lu tahu nggak,” Ia berhenti sejenak untuk memakai kacamatanya “Ada hal yang beda ketika lu bisa merebut pacar orang lain” Dira kemudian tersenyum “Ibaratnya kayak kita lagi ngebut. Dapetin cowok yang punya pacar itu kita ngebut di jalan yang ramai, banyak tantangannya. Sementara dapetin cowok yang single itu kita ngebut di jalan yang kosong, nggak ada tantangannya.” 

“Emang elu nggak takut karma?”
“Nggak. Kalau suatu hari pacar gue direbut orang, itu berati salah gue.”
“Kok salah elu? Bisa aja si cowoknya yang emang keganjenan.”
“Cinta adalah kompetisi. Kalau kita ada di posisi pertama, kita harus mempertahankan itu. Nggak boleh disalip sama orang yang di belakang kita. Nggak ada pemenang buat posisi kedua.”
“Dasar psikopat!” Arina mengambil gelas lemon tea dari tangan Dira dan meminumnya. “Kenapa sih elu nggak nyari pacar yang wajar aja kayak orang lain? Maksud gue, banyak kan orang yang suka sama elu. Tinggal milih sat uterus punya pacar, deh.”
“Di mana tantangannya kalo kayak gitu? Punya pacar mah biasa. Prosesnya yang harus nggak biasa.”
“Dengan cara ngerebut pacar orang lain?”
“Salah satunya. Iya.”
“Cara lainnya?”
“Gue masih nggak tau, Na. Entahlah, mungkin ada cara lain. Tapi gue nggak mau cuma gara-gara ada cowok yang ngedeketin, terus tiba-tiba pacaran gitu aja. Nggak ada tantangannya.”
 “Nyari pacar di hutan gih, pasti penuh tantangan.”
“Gue nyari tantangan, bukan nyari tarzan, Na.” Dira tertawa renyah.
“Dia lewat, Tuh.”

Dira segera mengusap-usap rambut dan membenarkan letak kacamatanya. “Oke, Nggak?” Ia menatap Arina, tajam. Tanpa menunggu jawaban dari Arina, Dira langsung berdiri. Tersenyum penuh percaya diri, memandang Pratama yang mengambil rute melewatinya. 

“Hey, Tama! Apa Kabar?” Dira tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya.
Tama terlihat kaget. Dengan gugup ia membalas ayunan tangan Dira. “Hey, Dir. Baik. Kamu?”
“Seperti inilah.” Dira membentangkan kedua lengannya. Sambil tersenyum. Arina hanya bisa diam menatap mereka. Perempuan yang bersama Tama mulai memberikan tatapan tajam kepada Dira.
“Kenalin, pacar gue.”
“Melisa.” Perempuan itu tersenyum seperlunya, sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Oh. Hai. Akhirnya ketemu juga sama kamu. Tama sering banget cerita soal kamu.”
“Oh, ya?” Tidak ada antusiasme dalam intonasi Melissa. Suaranya terdengar datar.
“Begitulah. Kita kan satu jurusan, jadi sering banget sekelas bareng. Tama sering cerita kok nyebut nama kamu. Cuma dua minggu ini aja, sih entah kenapa jarang ketemu sama dia.” Dira meninju lengan Tama. “Sombong banget, boi. Nggak pernah nyalain ym pula.”
“Biasalah, gue kemaren sibuk banget.” Tama menatap gesture tubuh pacarnya yang terlihat tidak nyaman. Segera ia mengakhiri obrolan dengan Dira. “Gue cabut dulu, ya?”
“Oke. Hati-hati, boi.” Dira tersenyum. Sekilas, dibalas dengan senyum kecut penuh cemburu dari Melisa. Dira tersenyum bangga. 

……..

“Dasar elu emang gila!”  Arina segera mengeluarkan suara setelah punggung   Tama menghilang  dari tatapan mata mereka.
“Ada  yang  salah  sama apa yang gue omongin? Kita kan emang satu jurusan sama Tama. Emang sering ngobrol. Emang dia sering cerita.” Dira duduk dan kembali membuka laptopnya.
“Lu nggak liat muka pacarnya tadi? Udah kayak mau nelen si Tama. Gue yakin abis ini, si Tama bakal diberondong banyak pertanyaan tentang elu.”
“Terserah, yang jelas gue kan ngomong yang sebenarnya. Salah si Tama, ngelakuin semuanya ke gue.” Dira sibuk membuka-buka folder lagu dari laptop miliknya.
“Mereka pacaran berapa lama, sih?”
“Hampir empat tahun, kalo gue nggak salah. Dengan catatan record dua kali diselingkuhi.”
“Orang seganteng Tama diselingkuhi? Apalagi yang cewek itu cari, sih. Udah punya pacar ganteng, gagah, terkenal di kampus. Masih aja selingkuh.”
“Entahlah. Gue ngedenger dari Tama semuanya langsung. Tama memperlambat lajunya, makanya dia disalip sama orang lain.” Dira memutar lagu melalui winamp di laptopnya. 

I didn't hear you leave. I wonder how am I still here 
I don't want to move a thing. It might change my memory

Suara lembut Dido mengalun. Menjadi suara yang turut serta mengikuti obrolan dua orang mahasiswi Universitas Bandung ini. Dira merupakan mahasiswa tingkat tiga jurusan Public Relation.  Sebagai orang yang masuk deretan mahasiswi cantik, Dira cukup terkenal. Betul kata Arina, tidak sulit mencari pacar bagi seorang Dira. 

Oh I am what I am. I'll do what I want but I can't hide

“Terus rencana elu ke depan gimana? Ngedeketin si Tama, gitu?”
“Nggak perlu, Tama bakal ngedeketin sendiri kok. Emangnya gue baru kenal dia?” Dira tertawa. 

Oh I am what I am     
I'll do what I want but I can't hide      
I won't go I won't sleep           
I can't breathe until you're resting here with me        
I won't leave I can't hide         
I cannot be until you're resting here with me

Dira membereskan laptop dan peralatan lainnya dari meja. Ia memasukkan laptop tersebut ke dalam tas yang ia tenteng. “Masuk kelas yuk, Rin.” Mereka beranjak dari kursi. Satu detik kemudian. *tring* blackberry Dira berbunyi. Dira menatap layar Hp sambil tersenyum. Al Pratama terlihat dalam deretan chat paling atas. 

Apa yang ada di benak gue setelah selesai menceritakan bab ini? Bener pasti mikirin Andira. Kalau mau lebih spesifik, Blackberry jenis apa yang dipake Andira. Krik.. krik..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar