Rabu, 16 Januari 2013

Chapter 2: Mimpi


Udah kenalan sama Andira dan Alpratama kan? Kalo Arina sih nggak usah dipikirin. Dia cuma pemeran figuran doang. Biasalah, tim hura-hura. Waktu itu gue saranin gimana kalo Arina dibikin mati aja, tewas mengenaskan. Misalnya gara-gara menatap kegantengan gue atau apalah. Tapi usulah itu ditolak, katanya kehadiran Arina lumayan. Buat menuh-menuhin cerita, itu bukan gue yang bilang, lho.

Lelaki itu duduk berteman makanan yang sedari tadi sibuk dilahapnya. Sesekali ia berbicara pada dirinya sendiri. Entah tentang apa; tentang dirinya, entah tentang orang-orang di meja sebrang yang selalu menarik perhatiannya. Ia hanya melepas pandangan beberapa detik untuk mengambil makanan, sisanya kembali terpaku, kembali menatap. Mungkin dia merasa bahwa dirinya adalah Deddy Corbuzier, dalam hatinya dia berkata: “Tatap mata saya!”

“Udah lama?” Suara perempuan menariknya dari dunia yang dihadapinya.  Lelaki itu merentangkan tangan kanannya, menghitung detak jarum jam di tangannya.

“Dua puluh tujuh menit yang lalu.” Kemudian diam dan kembali melakukan ritualnya: menatap meja lain.

“Udah, nggak usah diliatin terus.” Perempuan itu kemudian duduk di samping lelaki itu. “Ajak kenalan, gih.” Kemudian sibuk membuka daftar menu.

“Males.” Ia melahap sendok terakhir dari nasi goreng di piringnya.

“Males apa nggak berani.”

“Entahlah, ngajak kenalan cewek bukan nilai plus dari diri gue.” Ia sibuk mengusap mulutnya dengan tisu.
“Mending suruh gue orasi dua jam daripada berdiri sepuluh detik di depan cewek.”

“Lemah.” Perempuan itu melepaskan headset dari kedua telinganya. “Reyza Ramaputra, nggak takut di-DO, nggak takut sama dosen manapun, tapi takut buat ngajak kenalan junior yang baru masuk kuliah. Aktivis macam apa kamu ini?”

“Nggak ada hubungannya, woy!” Reyza melempar tisu bekas.

“Ih, jorok! Di-DO itu hal yang menakutkan, sementara ngajak kenalan cewek itu menakutkannya di sebelah mana coba? Heran. Tinggal, ‘Halo, gue Reyza,…..’.”

“Terus dia kabur.” Reyza langsung memotong.

“Belum juga dicoba. Waktu ngajak kenalan aku, kamu berani. Masa sekarang nggak?”

“Beda, lah. Gue ngajak kenalan elu karena lambat laun pasti bakal kenal. Kita sekelas. Gue cuma mempercepat prosesnya aja. Lagian elu juga duduk di samping gue, ya gue ajak kenalan aja sekalian.”
“Karena aku cantik, ya?”

“Idih, narsis banget. Lu! Elu jangan coba-coba bikin kisah cinta gue jadi mainstream. Kita ini temen, nah cukup temen seterusnya. Jangan kayak cerita kebanyakan, dari temen terus jadi suka, terus pacaran. Udah kaya FTV-FTV aja.”

“Yee, yang mau sama kamu siapa, woy?! Perhatiin makanya.” Perempuan itu melipat tangannya di depan dada.

“Gue kan cuma ngingetin, supaya novel ini nggak jadi novel mainstream yang mudah ketebak. Jangan sampe ada hubungan asmara diantara kita.”

“Kamu ngomong apa, sih? Cerita kita, novel, kisah. Aku nggak ngerti.”

“Udahlah, otak elu emang segaris, wajar kalo nggak ngerti.”

“Kurang ajar!” Ia memukulkan daftar menu makanan ke arah muka Reyza. “Ini Jus strawberry siapa sih? Kasian dibiarin nganggur terus.” Ia meraih gelas jus strawberry yang masih terisi penuh.

“Itu gue pesenin buat elu. Gue kan temen yang baik.”

“Perhatian banget sih kamu, sayang.” Ia mendekatkan tangan kanannya ke tangan Reyza.

“Idih, geli!.” Reyza segera menarik tangannya dan menggelengkan kepalanya. “Perhatiin cowok yang lagi jalan, itu.” Reyza meluruskan telunjuknya ke arah sebrang.

“Mana? Yang ganteng itu?”

“Asminda Devira!” Reyza menaikan volume suaranya. Memanggil nama lengkap merupakan aturan tidak tertulis dari kekesalan yang mendalam.

“Yee kenapa? Kan emang ganteng.”

“Ganteng mana sama gue?” Reyza menunjuk hidungnya sendiri.

“Hmm.. gimana ya.” Asminda mengaduk jus strawberry lalu meminumnya. “Beda tipe sih, ganteng kamu. Sedikit. Sedikit doang.” Ia meletakan gelas tersebut lalu telunjuk kanan dan jempol ia dekatkan, sehingga ada sedikit saja ruang diantaranya. “Sedikit doang.”

“Nggak perlu pake penekanan gitu.” Reyza menepis tangan Asminda. “Kalo gue lebih ganteng, kenapa dia lebih milih suka cowok itu daripada gue, ya?” Reyza menopang dagunya, berusaha berpikir.

“HALLOW?! KENAPA?! Dia aja nggak tau orang yang namanya Reyza itu ada apa nggak, gimana dia mau suka, coba?!”

“Ah, iya. Cukup masuk akal.”

“Bukan cukup lagi, woy! Emang bener!” Asminda meninju lengan Reyza.

Ini cerita apa sih? Penuh dengan kekerasan. Memukul, meninju. Cerita romantis macam apa ini?!

“Padahal cowok itu udah punya pacar. Masih aja itu orang ngejar-ngejar. Heran.”

“Padahal ngajak kenalan aja nggak mau, masih ngarep jadi pacar. Heran.” Asminda meledek sambil menggigit-gigit sedotan dari gelasnya.

“Gue tau arah pembicaraan ini bakalan kemana. Ih jorok banget sih lu!” Reyza menarik sedotan dari mulut Asminda dan membuangnya.

“Ih kenapa dibuang, aku minum jus ini gimana coba?” Asminda menyodorkan gelas strawberry yang masih terisi.

“Yaudah nih pake punya gue aja.” Reyza memindahkan sedotan dari es jeruk-nya dan memasukan ke gelas milik Asminda.

“Ih, itu juga sama aja jorok.”

“Duh, elu bisa nggak sih fokus sama masalah gue sekarang? Malah ngajak debat yang nggak penting.”

“Kuncinya cuma satu Rey; kenalan, supaya dia tau kalo selama dua minggu ini ada cowok yang merhatiin dia dari jauh.”

“Ih, gue romantis, ya. Merhatiin dia dari jauh, so sweet gimana gitu.”

“Cemen itu mah, bukan romantis.”

“Nggak usah ngerusak kebahagiaan gue kenapa, sih.”

“Kenalan dulu, itu yang paling esensial. Abis itu baru mikirin langkah-langkah buat ngeprospek dia buat jadi (calon) pacar.”

“Elu kira gue mau ngajak dia masuk MLM pake prospek-prospekan segala.”

“Yee, ini orang udah ditolongin juga. Mau dipandangin selama dua tahun non-stop juga percuma, dia nggak bakalan tau kalo ada orang yang namanya Reyza Ramaputra.”

“Plis, deh. Gue itu ketua BEM. Kalo ada mahasiswa yang nggak kenal gue, berati mahasiswa gagal. Rakyat macam apa yang nggak kenal sama presidennya?!”

“Iya bebas. Terserah kamu, sekarang kamu nunggu aja dia buat kenal sama kamu. Sementara cowok-cowok lain ngejar-ngejar dia. Lagian, kalopun udah kenal, belum tentu juga dia mau sama kamu.”

“Elu kenapa sih jadi temen nggak suportif banget. Kasih gue harapan napa, woy!”

“Kamu harus bangun dari mimpi. Ini 2012, ngeliatin cewek dari jauh, terus ngebikinin dia puisi udah nggak jaman. Apalagi masih nulis di kertas pula. Pelis, nulis di blog kek, atau di twitter yang lebih kekinian.”
“Terserah elu, Min. Gue kan orangnya romantis, jadi pake cara-cara lama.”

“Kirim pake merpati, gih. Biar sekalian. Mana sini aku liat puisinya.” Asminda berusaha mengambil buku merah yang tergeletak dengan pasrah di atas meja.

“Heh jangan! Enak aja, ada banyak curhatan gue di sini.” Reyza segera meraih buku tersebut.

“Udah saatnya kamu kenal teknologi. Masih aja nulis diari. Itu buku yang biasa dipake tukang kredit pula. Romantisnya sebelah mana coba?”

“Terserah mau bilang apa, Min.” Reyza segera naik ke atas kursi yang tadi ia duduki. Kemudian membelah buku tersebut di halaman tengah. Tangan kanannya mulai naik ke atas.

Karena menatap bukan mengharap.
Tanpa perlu terbebani rasa yang selalu menerpa.
Semuanya sederhana, cukup melihat tanpa perlu mendekap.
Lalu biarkan takdir bermain bersama tuhannya.

Karena bermimpi bukan memiliki.
Tapi memberikan alasan kepada kaki untuk tetap berdiri.
Untuk tetap percaya bahwa suatu nanti. Langkah ini akan menemui tuannya.

kita begitu terasing. Masing-masing.
Dalam taman riang, dalam sungai gembira.
Tanpa ada yang tahu, ada namamu dalam setiap doa.

Andira Amerita

Reyza melipat tangan kirinya di belakang punggung dan menyimpan tangan kanannya di depan dada lalu tersenyum dan membungkuk. Selayaknya orang yang baru saja melaksanakan konser dan memberikan penghormatan.

Asminda, ia bertepuk tangan sambil tertawa melihat kelakuan aneh sahabat dekatnya. Senyum menghiasai bibir manisnya diantara mata yang mengharu biru dan berkaca-kaca.
“Lelaki bodoh.” Katanya, pelan.

Sebutlah itu cinta, bagaimanapun bentuknya, seperti apapun caranya. Masih-masing orang memilih jalannya sendiri. Tapi, baca seribu puisi tetep bakalan sia-sia kalo orang yang dituju nggak tau. Gue heran, kenapa ada karakter tolol kayak gini? Ngerusak promosi gue yang udah bilang kalo ini bukan cerita cinta biasa di awal tadi. Lagian, hari gini masih musim emang puisi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar