Selasa, 23 November 2010

Sedikit flashback waktu saya masih muda dan tetap tampan, itu adalah semester dua ketika saya harus belajar Kewarganegaraan, saya masih bingung kurang Pancasilais apa saya yg mana dari kelas satu SD sudah belajar PPKN sekarang harus belajar Kewarganegaraan, apalagi ditambah mata kuliah Pancasila yg mana melihat muka dosennya pun sangat menyedihkan. Masuk kuliah Kewarganegaraan itu ibarat mengikuti kuliah subuh, jam 6.30 kami sudah duduk dengan manis untuk mengikuti mata kuliah yg akan segera kami lupakan begitu kelas ini selesai. Masuk kuliah 6.30 bukan hal yg mudah, seharusnya kampus saya masuk kedalam keajaiban dunia yg ke delapan, karena menetapkan jam kuliah sepagi ini, yg mana begitu orang pergi ke pasar kami harus pergi kekampus, dan itu tidak lucu. Maka terlambat menjadi hal yg wajar, barangkali bukan hanya factor macet, tapi juga factor tidur. Untung itu dosen yg baik dan pengertian, (jasamu akan kami kenang pak-red) maka masuk perkuliahan diundur menjadi pukul 7.00 wib, dengan harapan tidak ada lagi orang yg terlambat. Namun harapan hanyalah harapan yg terlambat tetap banyak, sehingga saya ingat pesan terakhirnya sebelum dia meninggal----kan kelas hari itu. Sebetulnya terlambat bukan karena masuk terlalu pagi, tapi karena mental kalian yg memang tidak menghargai waktu, mau masuk jam berapapun pasti ada yg terlambat, yah Indonesia bangetlah.

Hari ini ujian pukul 10.30, jam 5 saya sudah bangun, tidak menghapal karena sudah pintar. Lalu saya menghabiskan waktu dengan menonton tv yg acaranya tidak bermutu, sambil menunggu waktu yg tepat untuk mandi. Pukul 7, pukul 8, pukul 9 saya mandi, dengan asumsi mandi saya berdurasi 30 menit, persiapan 10 menit, dan perjalanan selama 20 menit, maka saya masih surplus 30 menit sampai dikampus. Tapi takdir berkata lain, entah karena itu ini maka saya tetap terlambat, soal telah dibagikan, kursi telah penuh kecuali satu yg berhadapan dengan pengawas, yg mana saya malas harus melihat pemandangan buruk setiap menaikan kepala. Itu saya datang berdua dengan teman saya, saya lalu ke depan untuk mengisi absensi dan minta soal, soalnya saja tanpa minta jawaban.

Pengawas yg botak :”sok duduk di situ (menunjuk ke arah kursi depan yg kosong)”

Saya yg ganteng :”gak di belakang aj”

Pengawas yg botak :”udah disitu aja”

Saya yg tetap ganteng :”gak di belakang aj”

Pengawas yg botak :”kenapa harus di belakang”

Saya yg selalu ganteng:”ya di belakang aj”

Pertama saya datang berdua, kedua saya memilih tempat duduk di belakang, tempat yg cocok untuk mempertahankan paradigma posisi menentukan prestasi alias nyontek, ketiga kebiasaan sy ketika ujian adalah berbicara sendiri dan cengar cengir dan melakukan tindakan mencurigakan lainnya. Sepanjang ujian saya tidak bisa berhenti tertawa begitu pula dengan teman saya, bukan karena saya bisa dan mampu mengerjakan soal-soal ujian itu, justru karena saya sama sekali tidak bisa mengerjakan soal tersebut, maka saya tertawa, tidak ada hukum yg melarang tertawa bukan? Ah itu nampaknya si pengawas melihat tingkah kami yg mencurigakan, maka dia bolak balik bolak balik ke belakang, duduk di belakang saya, hal itu membuat saya semakin ingin tertawa. Apakah wajah tampan saya tidak cukup untuk mengatakan bahwa saya pintar dan tidak mencontek?

Sebagian orang memilih proses, tidak peduli apa hasilnya yg penting cara meraih hasil tersebut baik. Sebagian orang lebih memilih tujuan, the ends justify the means begitu kata Machiavelli, berbagai cara boleh dilakukan untuk mencapai tujuan anda, termasuk cara negatif hal tersebut “halal” asal anda mampu mencapai tujuan tersebut. So, sebagian orang menjilat pantat dosennya, sebagian orang mencontek demi mendapatkan nilai bagus. Namun saya bukan berada di situ, saya adalah menginginkan nilai yg bagus tp cara yg elegan, tidak harus menjadi penjilat, maupun pencontek, karena saya memang pintar, buat apa pula saya percaya orang lain yg belum tentu lebih pintar dari saya apalagi lebih ganteng, apalagi lebih pintar plus lebih ganteng, apalagi apalagi, apalagi apalagi? apalagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar