Minggu, 11 April 2010

agama oh agama

Postingan ini saya ambil dari blog terdahulu, agak serius dan dangkal memang dan tidak saya edit sedikitpun. Selamat membaca bagi yang ingin, bagi yang tidak, ya sudah tidak perlu baca, pergi saja sana.
Berbicara mengenai agama akan menjadi sangat menarik. Secara pribadi, saya mempunyai banyak pertanyaan yang hingga saat ini masih sulit menemukan jawaban. Mulai dari orisinalitas agama itu sendiri hingga kebenaran yang diklaim setiap agama. Menurut Brightman agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tertinggi. Pengadilan kepada suatu kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini. Dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan-perbuatan lain yang bersifat perseorangan dan yang bersifat kemasyarakatan.
Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi. Tidak didasari oleh pemikiran Karl Max yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Atau anggapan Freud bahwa agama adalah pelarian Neurosis dan infantile dari realitas. Ketimbang berani menghadapi dunia nyata. Manusia mencari keselamatan dari “Tuhan” yang tidak kelihatan dan tidak nyata. Penuh ketakutan manusia tunduk kepada sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata. Sikap seperti itu sering ditunjukkan orang yang memiliki sikap neurosis. Artinya sikap dan perasaannya aneh, dalam arti tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya.
Saya pribadi memandang agama sebagai sebuah komoditas. Paling tidak itu yang saya perhatikan di Indonesia. Lihat bagaimana para petinggi agama mendapatkan uang dari hasil menjual agama mereka. Mereka mengajarkan kesederhanaan tetapi mereka sendiri hidup bergelimang harta. Lebih jauh lagi kita perhatikan berbagai macam barang yang bisa dijual dengan label agama. Bukankah agama merupakan lahan bisnis yang dijamin menguntungkan? Bila Karl Max mengatakan bahwa agama dibuat oleh kaum berkelas agar kaum miskin menerima begitu saja nasib mereka. Terlepas dari kebenaran agama itu sendiri. Maka saya berpendapat bahwa agama dibuat sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Atau ajaran samawi yang telah dirubah menjadi ajaran duniawi. Wallahua`lam.
Setiap agama itu menindas. Setiap agama mengklaim bahwa agama merekalah yang merupakan kebenaran. Dengan berbagai alas an mereka mengatakan bahwa orang diluar kelompok mereka akan masuk neraka dan mengalami siksaan yang kekal. Padahal Tuhan sendiri memiliki sifat “Maha Penyayang” dan “Maha Pengampun” lalu bagaimana Dia tega menyiksa ciptaannya?pastinya Dia tidak memiliki rasa dendam. Dengan asumsi demikian, maka bila hanya satu agama yang diterima, sebagian besar manusia akan masuk neraka. Efek lain dari beragama adalah manusia dengan mudah menghina, menghukum, bahkan menghilangkan nyawa orang lain dengan dalih agama. Padahal belum tentu zat yang mereka bunuh itu layak diperlakukan seperti itu. Bahkan mungkin saja agama yang dianutnya merupakan agama yang paling benar. Hal ini menandakan adanya diskriminasi terhadap agama lain. Tanpa tedeng aling-aling sebuah agama merendahkan agama lainnya. Tak heran bila jutaan nyawa bisa hilang dengan sentiment agama.
Selain diskriminasi terhadap kelompok diluar agama mereka. Agama sering menimbulkan fanatisme di dalam kelompok itu sendiri. Kaum yang notabene rajin beribadah akan memicingkan matanya ketika bertemu individu yang “dianggap” beribadah lebih kurang daripada dirinya sendiri. hal ini menunjukkan bahwa agama itu yang mengkotak-kotakan manusia.
Pada akhirnya agama memang harus dipertanyakan. Pertama, apakah tujuan agama tersebut. Kedua, sejauh mana agama tersebut mampu mengontrol kehidupan manusia. Dan yang terakhir sejauh mana agama tersebut tahan dari sentuhan manusia selama ratusan tahun. Sehingga orisinalitas agama tersebut tetap terjaga. Saya menganggap bahwa “agama” adalah sebuah perjanjian tertutup dengan Tuhan. Dimana hanya individu dan Tuhan yang terlibat transaksi. Terlepas praktiknya seperti apa. Saya percaya kehadiran Tuhan dan anugerahnya. Maka sepatutnya kita berterima kasih kepada “Dia”.

2 komentar:

  1. riri: jangan salahkan agama fer, justru umat agama itu sendiri yang menyalahgunakan agama. makanya, belajar agama itu harus komprehensif; lengkap dan menyeluruh, jangan setengah-setengah. sehingga kita bukan hanya mengerti begitu saja, tapi juga paham. memahami agama fer. maka bacalah dengan nama pencipta-Mu, Allah SWT. kalo nurut riri bacalah (pahamilah) segala yang ada di dunia ini dengan nama Sang Khaliq, Allah SWT.

    BalasHapus
  2. iya juga sih ri, makanya saya kecewa dengan orang2 yg selalu bersembunyi di balik nama agama..
    tapi tetap ri tiga pertanyaan terakhir harus diajukan..
    :D
    makasih ri..

    BalasHapus