Dear Anisa,
Sudah berapa lama ya? 4 tahun lebih sejak aku pertama menyatroni rumah kamu tanpa dibuka pintu pagarnya. Dengan perasaan yang berantakan dan penuh ketakutan, melalui tulisan aku mengatakan perasaan yang aku simpan dengan rapi. Aku masih ingat kali pertama kamu tersenyum, seperti orang yang baru saja melihat orang gila. empat tahun masihlah sangat muda untuk ukuran kura-kura dan ubur-ubur. Tetap tenang, masih ada tahun tahun mendatang yang bisa kita isi bersama.
Kamu masih bertahan di sana? Sudah
hampir tiga bulan ini kita terpisah oleh tol Cipularang dan Bekasi. Aku yang
dulu pengangguran ini kini harus mengadu nasib di ibu kota yang katanya lebih
kejam dari ibu tiri ini. Tapi tak mengapa, namanya juga ibu ibu. Ingin tahu apa
saja yang aku alami selama ada di sini? Baiklah jika tidak, aku jadi tidak
perlu bercerita terlalu banyak. Maklum, sebagai anak kos harus menghemat kata
dan listrik yang dipakai untuk mengetik surat ini.
Hai Anisa, kamu apa kabar? Bagaimana
rupamu sekarang? Aku bukannya lupa. Tapi sudah lama kita tidak bertemu,
barangkali ada perubahan yang mencolok dari wajahmu setelah dua hari tidak
bertemu. Aku takut tiba-tiba kamu operasi plastik mengikuti tren dan kabawa
sakaba kaba oleh pergaulan yang tidak menguntungkan.
Anisaku yang saat ini sedang
senang karena ulang tahunku hampir tiba. Bahwa perjalanan kita tidak mudah, itu
betul. Perjalanan yang sangat jauh berbeda dengan lagu naik-naik ke puncak
gunung yang dikelilingi oleh pohon cemara. Walaupun lagu itu agak kurang
mendidik ya, karena mengajarkan anak kecil untuk main ke gunung tanpa
pengawasan orang tua. Aku harap kita tidak demikian. Makanya kamu harus cari
uang yang banyak supaya aku bisa merawat anak-anak kita dengan cermat.
Aku tulis surat ini tentu saja
dengan rasa rindu. Rasa-rasanya seminggu sekali bertemu dengan kamu masih saja
kurang. Tapi, rindu bukanlah terletak pada jarak, ia terletak pada hati yang
tidak mampu merasakan keberadaan sayang yang ada di dalam hatinya. Aku selalu
merasa kamu ada di dekatmu, walaupun ketika pada malam jumat, aku sangat tidak
menyukai perasaan itu. Aku harap kamu pun demikian, tapi jangan takut hantu ya,
karena ada Tuhan yang sama sama tidak kelihatan.
Akan tiba waktunya kita duduk
berdua sama sama berdoa setelah menoleh ke kiri dan ke kanan. Pada waktu itu
aku harus melihat ke belakang karena duduk kita yang tidak sejajar. Aku sudah
membayangkan kamu akan tersenyum kemudian mencium lenganku dan aku akan
mengecup keningmu. Meski saat-saat itu akan ada riak-riak tangis bayi yang
mengganggu kita, biarkan saja, itu anak tetangga.
Dear Anisa,
Aku tutup surat ini dengan
perasaan yang tidak kelihatan.
Dan rasa rindu yang selalu.
Sebentar, aku lapar.
Jakarta yang selatan dan selasa.
14 Oktober menjelang 2015.
Ditulis oleh pacarnya Anisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar