Selasa, 02 Desember 2014

Surat (Serius) untuk Anisa


Dear Anisa

Kalau kalau nanti aku bilang rindu, itu bukan karena ingin bertemu. Karena rindu ini selalu, bahkan ketika aku berada di dekatmu.

Ini serius, jangan tertawa, aku tidak sedang bercanda. Kali ini aku ingin menulis surat yang romantis, karena memang itu memang fungsi dia yang sesungguhnya dan aku yang sebetulnya.

Bandung yang dingin, jarak yang jauh, dan harapan yang tetap ada memang sering menyisakan banyak pertanyaan. Pertanyan yang tidak perlu ataupun pertanyaan yang layak diajukan. Hati memang tidak bisa mengingkari ketika tiba-tiba ingin bertemu untuk sekedar bercerita soal apa saja yang aku hirup sedari pagi.

Kadang, aku ingin pulang ke rumah dan mengetuk pintu rumahmu. Walaupun aku tidak pernah melakukan itu karena aku biasanya pakai line atau wasap untuk mengabari bahwa aku sudah duduk di kursi depan, aku ini memang anak yang tidak sopan.

Tapi serius, aku ingin pulang untuk berbagi cerita denganmu. Cerita kecil, soal remeh temeh, perkara yang tidak membuat dahi kita mengkerut dan jidat kamu bertambah lebar. Aku ingin bercerita misalnya betapa panasnya mata hari siang ini, yang membuatku berkeringat dengan dahsyat. Untung Tuhan mengirimkan khalifah pencipta rexona sehingga aku terbebas dari bau ketek yang memalukan.

Aku baru saja berkelakar kepada diri sendiri, bahwa suatu kali dunia akan dipenuhi oleh rasa benci dan yang tersisa adalah harapan yang pernah kita simpan, tapi aku mungkin saja lupa jadi kamu harus mengigatnya. Kamu itu maksudnya adalah aku ya, bukan kamu. Kamu ngerti kan bagian ini? Ya begitulah aku anggap kamu mengerti, lalu aku diam karena ternyata semuanya tidak lucu kecuali kehidupan ini.

Aku mengantuk dan harus tidur, kamu pasti sudah. Ingat kalau tidur jangan lupa bangun, dan kalau sudah bangun jangan lupa bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kamu agar bisa kembali mengharap hari esok.

Karena harapan adalah satu-satunya hal yang membuat aku percaya bahwa di belokan depan, kita akan menemukan kebahagiaan. Tentu saja aku bisa keliru, tapi pun aku bisa benar, dan Tuhan mendengarkn, pelan-pelan ia mengamini jalan yang sudah aku bangun, eh ini lalu siapa yang mengabulkan? Ya kamu!
Selamat malam, aku mau pergi dulu.

Lapar.
Ttd – Feryan. 
Jakarta yang 2 Desember 2014

Selasa, 14 Oktober 2014

Surat untuk Anisa

Dear Anisa,

Sudah berapa lama ya? 4 tahun lebih sejak aku pertama menyatroni rumah kamu tanpa dibuka pintu pagarnya. Dengan perasaan yang berantakan dan penuh ketakutan, melalui tulisan aku mengatakan perasaan yang aku simpan dengan rapi. Aku masih ingat kali pertama kamu tersenyum, seperti orang yang baru saja melihat orang gila. empat tahun masihlah sangat muda untuk ukuran kura-kura dan ubur-ubur. Tetap tenang, masih ada tahun tahun mendatang yang bisa kita isi bersama. 

Kamu masih bertahan di sana? Sudah hampir tiga bulan ini kita terpisah oleh tol Cipularang dan Bekasi. Aku yang dulu pengangguran ini kini harus mengadu nasib di ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini. Tapi tak mengapa, namanya juga ibu ibu. Ingin tahu apa saja yang aku alami selama ada di sini? Baiklah jika tidak, aku jadi tidak perlu bercerita terlalu banyak. Maklum, sebagai anak kos harus menghemat kata dan listrik yang dipakai untuk mengetik surat ini.

Hai Anisa, kamu apa kabar? Bagaimana rupamu sekarang? Aku bukannya lupa. Tapi sudah lama kita tidak bertemu, barangkali ada perubahan yang mencolok dari wajahmu setelah dua hari tidak bertemu. Aku takut tiba-tiba kamu operasi plastik mengikuti tren dan kabawa sakaba kaba oleh pergaulan yang tidak menguntungkan.

Anisaku yang saat ini sedang senang karena ulang tahunku hampir tiba. Bahwa perjalanan kita tidak mudah, itu betul. Perjalanan yang sangat jauh berbeda dengan lagu naik-naik ke puncak gunung yang dikelilingi oleh pohon cemara. Walaupun lagu itu agak kurang mendidik ya, karena mengajarkan anak kecil untuk main ke gunung tanpa pengawasan orang tua. Aku harap kita tidak demikian. Makanya kamu harus cari uang yang banyak supaya aku bisa merawat anak-anak kita dengan cermat.
Aku tulis surat ini tentu saja dengan rasa rindu. Rasa-rasanya seminggu sekali bertemu dengan kamu masih saja kurang. Tapi, rindu bukanlah terletak pada jarak, ia terletak pada hati yang tidak mampu merasakan keberadaan sayang yang ada di dalam hatinya. Aku selalu merasa kamu ada di dekatmu, walaupun ketika pada malam jumat, aku sangat tidak menyukai perasaan itu. Aku harap kamu pun demikian, tapi jangan takut hantu ya, karena ada Tuhan yang sama sama tidak kelihatan.

Akan tiba waktunya kita duduk berdua sama sama berdoa setelah menoleh ke kiri dan ke kanan. Pada waktu itu aku harus melihat ke belakang karena duduk kita yang tidak sejajar. Aku sudah membayangkan kamu akan tersenyum kemudian mencium lenganku dan aku akan mengecup keningmu. Meski saat-saat itu akan ada riak-riak tangis bayi yang mengganggu kita, biarkan saja, itu anak tetangga.

Dear Anisa,

Aku tutup surat ini dengan perasaan yang tidak kelihatan.
Dan rasa rindu yang selalu.

Sebentar, aku lapar.

Jakarta yang selatan dan selasa. 14 Oktober menjelang 2015.


Ditulis oleh pacarnya Anisa. 

Kamis, 09 Oktober 2014

Soal Menemukan Siapa Tuan

Hampir satu jam lebih memandangi layar microsoft word tanpa bisa menuliskan satu kalimat pun. Sebagai penulis gagal, tentu saja saya merasa berhasil menjadi gagal. Mungkin ini salah satu pencapain terbesar saya. Tiba-tiba teringat ketika masa kuliah. Mungkin efek diam di kosan sambil ditemani lagu panas dalam yang selalu saya dengarkan semasa belia.

Syahdan, kala itu saya orang yang termasuk rajin menulis. Beberapa tulisan saya bahkan selalu masuk ke sebuah buletin mingguan kampus yang saya buat sendiri. Yah, walaupun pada akhirnya buletin yang rajin mengkritik para teknokrat itu harus berhenti terbit karena dibredel oleh mahalnya harga fotokopian waktu itu.

Ada pesan yang selalu saya simpan, baik kepada diri saya sendiri maupun kepada orang yang selalu bertanya, darimana bisa dapat ide menulis. Tiba-tiba ini menjadi hal yang menakutkan bagi saya pribadi. Apa yang harus saya tulis sekarang? Bagaimana kalau tulisan saya jelek? Bagaimana kalau ternyata tulisan saya acak-acakan seperti hidup yang pernah saya jalani dulu? Lalu, darimana saya bisa mendapatkan ide untuk menulis? Strukturnya seperti apa? nanti siapa yang baca? Sial! Banyak sekali ketakutan yang akhirnya sering membuat saya untuk berhenti menulils.
Satu hal yang tiba-tiba kembali menerpa pikiran saya adalah bahwa saya selalu berpikir bahwa tidak memiliki ide untuk menulis pun adalah sebuah ide! Tentu saja kebuntuan ini bisa berubah menjadi sebuah tulisan. Sebuah tulisan, kita tidak sedang membicarakan tulisan itu baik atau tidak, layak baca atau tidak, memiliki esensi atau tidak.

Tulisan ini lahir dari kebingungan, kesendirian, ketakutan ditelan kesibukan dan kekhawatiran kehilangan diri sendiri.  Kata seorang teman, menulis jangan dijadikan beban, tapi sebuah rekreasi rohani untuk membebaskan pikiran dari ketumpulan. Saya setuju, walaupun saya sering tidak tahu apa yang harus saya tuliskan. Tapi, tidak memiliki ide pun adalah sebuah ide. Ah tapi masa harus terus-terusan! Mungkin saya harus mengikuti jejak Plato yang memanggil Socrates dari kematian. Saatnya memanggil Plakon dan Aristol dari sabda persemayaman.


Jakarta 8 Oktober yang panas karena kipas angin mati. Ah sialan! 

Kamis, 02 Oktober 2014

Sekarang, setahun kemarin

Hampir setahun tidak menulis!

Penulis macam apa aku ini? 

Agak sedikit mengejutkan memang, mengingat menulis saya artikan sebagai kegiatan bersenang-senang. Yak, walaupun sampai sekarang masih belum bisa menghasilkan uang. Novel pertama yang ditolak setiap penerbitan, novel kedua yang hilang ditelan kesibukan, dan novel ketiga yang cuma bisa berputar-putar di kepala tanpa pernah menemui tuannya.

“Apa yang kamu cari?” suatu kali seorang teman bertanya.

“Kebahagiaan, tentu saja” saya menjawab dengan cepat.

“Kenapa?” dia kembali bertanya.

“Karena sepatutnya memang demikian.”

“Kenapa manusia harus mencari kebahagiaan?” dia terus bertanya.

Saya terdesak.

Bungkam.

Kenapa manusia harus mencari kebahagiaan? Pertanyaan itu berulang, tapi kali ini saya mendengar suara saya sendiri, sementara orang lain tidak. Kenapa manusia mencari kebahagiaan? Kenapa manusia harus bahagia? Kenapa bahagia dijadikan sebagai tujuan akhir manusia? Apa itu bahagia? 

Apa itu bahagia?

Apa itu bahagia?

Lalu saya berusaha mencari jawaban itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)
jawaban yang sama sekali tidak menyentuh pertanyaan di awal.

Kamus sialan!

Oktober yang sama, tahun yang berbeda.

Saya sedang bekerja sekarang.

Sudah bahagia?

Belum.
Karena,.

Aku hanyalah orang yang tidak pernah bosan meminta, dan engkau tidak pernah bosan memberi. 

Tuhan, kamu bahagia?