Sabtu, 15 Januari 2011

tentang togamas dan buku

Saya sedang senang, dan memang harus begitu, karena saya tampan, pintar dan punya pacar. Begitulah adanya. Siang hari saya ke Togamas, jangan tanya ngapain, ya biasalah buang-buang uang. Membeli beberapa buku untuk bahan tugas Uas saya. Hari itu memang cerah, tapi dompet saya tidak cerah, budget untuk beli buku kali ini hanya 200rb. Saya tiba di Togamas langsung mengambil dua buah buku tentang 2012, biasalah bacaan orang-orang gaul itu yang berbau konspirasi. Kan biar keren kalau ngomongin illuminati, dan brown, dan tetek bengek lainnya. Kebetulan buku itu sedang diskon, mungkin karena saya tampan jadi dapat diskon. 50rb untuk 2 buah buku saja. Seperti biasa saya mampir sebentar di bagian buku filsafat, sampai sekarang saya masih bingung kuliah di jurnalistik apa di fakultas filsafat. Saya menemukan dua buah buku, kali ini tentang semiotika dan feminisme, yah lumayan berhubunganlah dengan tugas saya kelak. Tak lupa saya membeli beberapa buku mengenai agama, 2 biji pun cukup sepertinya. Setelah hitung punya hitung semuanya sekitar 180rb, yg 20rb sengaja saya sisakan untuk membeli novel Jomblo.

Alkisah saya pun berjalan dengan elegan menuju kasir, melewati beberapa pajangan buku dengan angkuh. Memandang sinis terhadap novel-novel Andrea Hirata yg dilabeli best seller, Cih!. Di depan, sambil menunggu teman yang bimbang memilih antara rectoverso dan bukunya habibie—dua-duanya local—saya iseng2 melihat jejeran buku di depan saya. Tiba-tiba “Foucault Pendulum” begitu judul novelnya. Ya itu adalah novel karya Umberto Eco, salah satu penulis yang saya sukai, karena jarang orang seusia saya baca karyanya. Harganya 90rb, artinya setengah dari buku saya harus dipotong. Saya pun mengembalikan sekitar 5 buku ke tempatnya, sungguh harga buku ini jahanam, tapi saya sudah lama cari ini buku, jadi apa daya. Masalah saya anggap sudah selesai, satu novel, satu buku kuliah, dan dua buku filsafat, ideal bukan? Awalnya seperti itu, sampai teman saya bilang. “fer Quasimodo itu bukannya nama flashdisk km ya?”, okey saya pun menghampiri rak novel “new release” dan melihat buku putih dengan cover seorang yg buruk rupa, saya langsung menebak itu Quasimodo, dan itu adalah buku Victor Hugo, saya cari itu sejak semester 3, akhirnya ada juga orang yg mau menerjemahkannya. Saya pun terang saja membeli itu novel yg berjudul Si Cantik dari Notre Dame, karena sebelumnya begitu terpesona oleh Les Miserables Victor Hugo. Akhirnya buku kuliah dan dua buku filsafat itu saya kembalikan ke tempatnya semula, lalu ditangan saya hanya dua novel, dengan rupiah tak jauh berbeda dari semula.

Memang sedih sih rasanya, kenyataan bahwa saya tampan dan pintar tidak didukung oleh harga buku yang sejalan dengan kantong saya. Yah lagi-lagi saya harus menuduh dunia dengan ketidak adilan ini, pernah suatu hari saya sedang di Gramedia, menunggu pacar saya, ada anak kecil umurnya kurang dari 30 tahunlah, mungkin masih SD, itu saya lihat dari buku2 yg dia pilih, dia bersama pengasuhnya, bertugas membawakan buku-buku yg dia pilih, kalau saya hitung jumlah buku yg dia bawa di keranjangnya, saya yakin itu lebih dari sepuluh. Tiba di kasir, sang ayah telah menunggu dengan bimbang lalu berkata “udah itu aja?”, ya Tuhan, ingin rasanya memutilasi dengan sadis mereka lalu mengambil semua buku yang mereka beli. Bagaimana tidak bikin iri coba, untuk membeli satu buku, saya harus berhenti makan satu minggu, sementara dia? Huh sungguh anak yang menyebalkan. Beli buku seenaknya, tapi tidak berusaha seperti saya. Contoh dong saya, sudah tampan, pintar, rajin menabung pula. Semoga kau bahagia nak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar