Minggu, 23 Januari 2011

tentang buku mungkin

Entah sih, sepertinya saya memang ditakdirkan berselisih dengan perangkat kampus dan tetek bengeknya. Adalah perpustakaan tempat yg paling ingin saya bakar di kampus. Bagi saya sih ironis, kalau saya numpang ke perpustakaan Unpad lalu diperlakukan dengan jutek dan menerima tatapan sinis para petugasnya itu sih wajar, karena saya numpang di kampus orang. Tapi bila saya masuk perpustakaan kampus sendiri, lalu diperlakukan dengan jutek, seolah saya itu mau mengemis, lalu menerima tatapan sinis, seolah-olah kami itu hina. Pada tahap kesal yang memuncak kadang saya mengeluh dengan merendahkan mereka, misalnya mengucapkan. “baru jadi pegawai aja belagu”, saya tau itu salah, tp tikus tikus itu memang layak diperlakukan seperti itu. Dan kau tau apa yg terjadi ketika saya bertemu dengan kepala perpustakaan, ternyata dia orang yg ramah dan sangat baik, beda dengan para pegawai itu yg ingin saya bakar lalu diarak keliling kampus

Itu sebabnya saya punya obsesi memiliki perpustakaan pribadi, bukunya macam-macam, kalau kelak saya meninggal bisa saya wariskan pada anak saya. Ah itu indah. Meskipun jalan terjal berliku untuk punya perpustakaan pribadi, saat ini buku saya memang masih sedikit jumlahnya paling 200 an, masih jauh dari sebuah perpustakaan. Saya tidak mau nasib perpustakaan saya seperti perpustakaan dikampus, sudah pegawainya jutek dan sombong, bukunya tidak lengkap, dan dihiasi dengan buku-buku yg jelek dan tidak terawat. Punya saya jangan, kau tahu dulu satu buku itu bias saya dapatkan dengan cara berhenti makan di kampus selama satu minggu, serius loh. Makanya saya suka kesal ketika ada orang yg meminjam buku saya dan tiba-tiba dikembalikan dengan keadaan halaman berlipat atau lecek. Karena butuh perjuangan untuk mendapatkan buku itu, maka saya merawatnya dengan sepenuh hati.

Jika berbicara masalah harga buku memang ironis, kalau itu mahal, pasti sedikit orang yg membelinya, banyak orang pasti lebih memilih makanan ketimbang membeli buku, pantas masyarakat susah diangkat dari kebodohan. Sekolah mahal, buku pun sebagai sarana pendidikan lainnya sama mahalnya. Tapi kalau buku itu murah pun jadi masalah, misalnya saya pernah membeli sebuah buku, lumayan tebal sekitar 200 halaman, buku filsafat, entah kenapa buku jenis ini jarang yg mahal, harganya hanya 20 ribu, saya sempat berpikir, berapa royalty yg didapat oleh penulis, tentu setelah dipotong biaya produksi dan tetekbengek lainnya, pantes banyak penulis di Indonesia yg berkutat dengan kemiskinan. Memang buah simalakama, seperti sebuah perang, pasti ada pihak yg menjadi korban. Satu-satunya pihak yg bisa diandalkan adalah pemerintah, tapi begitu menyebut nama pemerintah, saya lebih pesimis lagi biasanya mereka membuat masalah semakin runyam.

Entah sih, saya berharap, buku bisa diterbitkan dan dijual dengan harga murah, tanpa mengurangi pendapatan penulis maupun penerbit. Tentu harus melibatkan pihak ketiga, sponsor mungkin, yg bersedia membiaya proses penerbitan dan percetakan buku tersebut, pasti dengan imbalan brand yg bersangkutan dilibatkan dan dinaikkan. Tidak tau sih, saya kurang ahli dalam hal itu, yg jelas semoga harga buku cepat murah biar kami para mahasiswa dapat dengan mudah. Ayo dong pemerintah, sebelum anda kami bubarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar